Pages

Thursday, September 18, 2014

Revida Putri : Film Mantan Bintang Porno, Sasha Grey, Lolos Sensor di Indonesia


Mantan bintang porno Sasha Grey beradu akting dengan aktor Ellijah Wood dalam film thriller bertajuk OPEN WINDOWS. Sempat ditakutkan tak bisa tayang di Indonesia, importir cukup lega begitu mendengar keputusan LSF bila film ini dinyatakan lulus sensor.
Diakui ada tujuh poin adegan syur Sasha Grey yang terpaksa 'digunting'. Namun film besutan Nacho Vigalondo ini bisa diputar untuk umum karena muatan thriller yang disuguhkan sangatlah menarik.
"Film ini tetap bagus ditonton dan kalau ada beberapa adegan yang mesti kena sensor itu sudah wajar kan? Anda tak perlu kecewa, karena di film inilah kedua bintang itu bermain total sebagai dua tokoh karakter berbeda!" jelas Anton Pratama selaku pihak importir.
Syamsudin NM selaku ketua media center Direktorat Perfilman Kemenparekraf pun mengatakan bila sensor adalah sesuatu yang wajar. "Saya kira penyensoran yang dilakukan LSF tidak sedikit pun mengurangi alur cerita. Sensor terhadap film Sasha Grey memang kabarnya sangat ketat dilakukan. Jadi kita harus punya sikap yaitu sensor adegan porno Sasha Grey dalam film tersebut atau jangan diberi izin tayang!" tegasnya.

PERLINDUNGAN KONSUMEN


BAB I
PENDAHULUAN


I.1          LATAR BELAKANG
Salah satu kekhasan yang membedakan hukum dengan ilmu lainnya adalah bahwa hukum memiliki kekuatan memaksa, hukum dipandang sebagai peraturan tentang tindakan manusia terhadap sesamanya yang ditegakan oleh otoritas politik yang berkuasa. Dengan demikian, hukum harus dipahami sebagai suatu perintah (positif) dengan kriterium sesuai hukum positif atau bertentangan dengan hukum positif. Hukum juga bersumber pada unsur budaya, apabila beberapa budaya yang sangat berlainan saling berhubungan, maka penggalian hukum yang satu dengan yang lainnya  akan menimbulkan akulturasi dan asimilasi, sebab proses interaksi beberapa unsur budaya tersebut, menuntut adanya suatu transformasi atau bahkan lepasnya, nilai-nilai yang menjadi dasar sistem hukum terdahulu sehingga memerlukan pembaharuan. Sebab hukum sebagai kerangka ideologi perubahan struktur dan kultur masyarakat (Erman Rajagukguk, 1983:72).

Sedangkan penegakan hukum memiliki pengertian adalah suatu upaya menciptakan atau menjadikan hukum agar dapat memiliki validitas, yaitu dengan membuat peraturan-peraturan yang mengikat dan memberikan sanksi serta menyertakan aparat penegak hukum itu sendiri. Penegakan hukum juga menegaskan bahwa ada hukum dan ada yang diperintahkan untuk melaksanakannya. Setelah terwujud keduanya maka diharapkan hukum akan mencegah terjadinya pelanggaran dan kejahatan, dengan adanya law and order maka ada aturan yang mengikat masyarakat agar tidak berbuat apa yang dilarang oleh hukum tersebut. Penegakan hukum juga di harapkan dapat menciptakan efek jera pada setiap pelaku kejahatan atau pelanggar hukum, maka hukum tersebut harus memuat sanksi yang seimbang dengan perbuatan jahat yang dilakukan.
Pentingnya Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar 1945  menyatakan secara tegas bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum” Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diperlukan institusi institusi yang penegak hukum  sebagai instrumen penggeraknya.Mewujudkan suatu negara hukum tidak saja diperlukan  norma norma hukum atau peraturan perundang undangan sebagai substansi hukum, tetapi juga diperlukan lembaga atau badan penggeraknya sebagai struktur hukum dengan didukung oleh prilaku hukum seluruh komponen masyarakat sebagai budaya hukum. Ketiga komponen ini, baik struktur hukum, substans hukum maupun budaya hukum oleh LM. Friedman dikatakan sebagai susunan struktur hukum (LM Friedman, 1975:11) Penegakan hukum perlindungan konsumen  merupakan bagian yang tidak terpisahkan  dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar pilar negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan  tujuan nasional sebagaimana  terpatri dalam  pembukaan UUD’45. Sejalan dengan agenda prioritas pembangunan nasional serta rencana pemerintah jangka menengah 2004-2009, antara lain mengarahkan perlunya upaya pengamanan perdagangan dalam negeri dan perlindungan konsumen. Upaya tersebut secara sinergi dan simultan dilakukan melalui program pemberdayaan konsumen, penguatan kapasitas kelembagaan, optimalisasi pengawasan barang beredar dan jasa serta kemetrologian.
Penegakan hukum (law enforcement) yang bermuatan perlindungan konsumen memang sedang didambakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat (konsumen) yang sedang menjadi korban pengusaha (perusahaan) yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Kecenderungan semakin banyaknya perusahaan yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, merupakan tantangan riil yang menguji aparat atau pihak-pihak yang berkompeten dalam melakukan dan mewujudkan penegakan hukum.KataKunci: penegakan hukum, pencari keadilan, perlindungan konsumen Pendahuluan Dunia perdagangan dan industri tumbuh dan berkembang semakin komplek akhir-alhir ini, sehingga melahirkan ketidak adilan sosial dan ekonomi bagi konsumen. Hubungan interdependensi yang ada antara pelaku usaha dan konsumendalam perdagangan, praktis bergeser ke arah dependensi konsumen terhadap dunia usaha. Dalam dalam hal, konsumen menerima segala sesuatu dari kalangan dunia usaha sebagai sesuatu yang “Given”, baik informasi, jenis dan macam produk, kualitas produk, dll praktis daya tawar konsumen semakin lemah. Kekuatan pasar sedemikian rupa (yang antara lain ditandai dengan pertumbuhan konglemerasi dan multi nasional corporation (MNC), menjadikan nasib konsumen semakin terpuruk.Akankah persoalan konsumen akan dapat diatasi melalui mekanisme hukum? Jawabnya tergantung pada bagaimana pelaku usaha dan konsumen serta pemerintah.Hukum perlindungan konsumen belum mampu menghilangkan semua ketidak adilan pasar, tanpa dibarengi dngan upaya memperbaiki mekanisme pasar itu sendiri.
I.2          PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis dalam makalah ini menyimpulkan permasalahan yang akan di bahas dalam makalah ini, yaitu :
“ Bagaimana penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia ?”

BAB II
PEMBAHASAN

II.1         PENEGAKAN HUKUM DALAM PERLIDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
Pembahasan tentang penegakan hukum penyelesesaian sengketa konsumen, hanyalah sebagian kecil dari upaya untuk menyelesaiakan sengketa konsumen sebagai upaya penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan didasarkan kepada undang-undang NO. 8. Tahun 1999 Tantang Pelindungan Konsumen (UUPK), KepPRES NO> 90 Tahun 2001 Tantang Pembentukan BPSK, Keputusan Memperindag RI NO. 301 Tahun 2001 Tentang  Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota dan Sektetariat BPSK, sertaKeputusan Memperindag RI NO. 350 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, maka terbentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di beberapa kota di Indonesia. Pentingnya Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen, aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek. Undang Undang Dasar 1945  menyatakan secara tegas bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum” Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis didalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar didalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, diperlukan institusi institusi yang penegak hukum  sebagai instrumen penggeraknya. Penegakan hukum perlindungan konsumen  merupakan bagian yang tidak terpisahkan  dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar pilar negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan  tujuan nasional sebagaimana  terpatri dalam  pembukaan UUD’45.Penegakan hukum dalam kurun waktu yang lama dipandang sebelah mata oleh masyarakat, sebab hukum tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran.
Dalam perkembangannya banyak para pelaku usaha telah melakukan pelanggaran serta penyalahgunaan untuk sebuah kepentingan usaha semata, sebaliknya para penegak hukum tidak mampu menjalankan supremasi hukum yang menjadi tuntutan masyarakat, yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum yang berdampak pada ketidak percayaan masyarakat terhadap para aparatur hukum. Dalam kurun waktu tersebut hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasan, dan kepentingan golongan. Hukum harus dikembalikan pada fungsi dan perannya karena sudah menjadi tuntutan masyarakat dan perkembangan demokrasi di Indonesia sejak bergulirnya era reformasi. Seiring dengan berkembangnya dunia usaha perdagangan dan industri serta tumbuhnya konsumerisme global dan upaya penciptaan keadilan social dan ekonomi, maka lahirlah konsumerisme sebagai paham yang membela hak-hak konsumen yang berkembang seiring dengan perkembangan dunia usaha.Fakta menunjukkan bahwa konsumen adalah pihak yang lemah, yang membutuhkan perlindungan hukum.Apabila ditelusuri dengan mengkaji lebih lanjut tentang karaktristik sengketa konsumen (consumer disputes) dapat di identifikasi sebagai berikut: Pertama, sengketa konsumen lahir dari tidak adanya keseimbangan kedudukan antara pihak pelaku usaha dan konsumen. Ketidakseimbangan kedudukan inilah yang seringkali menyulitkan konsumen untuk berjuang  sendiri dalam meyelesaikan sengketa yang dihadapinya, sekalipun hak-haknya secara yuridis dilindungi oleh undang-undang. Kedua, kondisi social ekonomi konsumen pada umumnya adalah miskin ( kecuali mereka adalah konsumen mobil mewah, real estate, atau peralatan rumah tangga yang mahal). Daya beli yang pas-pasan  jelas tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan bantuan hukum (melalui lawyer). Hambatan psikologis ada  pada mereka untuk memasuki prosedur hukum formal, disamping adanya sinyalemen “banyak lawyer” yang tidak cukup familier dengan persoalan-persoalan yang dihadapi mayarakat miskin. Pada akhirnya bantuan hukum lebih didominasi oleh kasus-kasus criminal, perkawinan, ketimbang kasus-kasus konsumen. Ketiga, pemberian ganti rugi yang lebih spisifik juga sekaligus merupakan “kritik” atas dunia peradilan formal yang cenderung tidak efektif. Dengan demikian penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan  tidak cocok, karena sangat formal, lama, berbelit-belit, dan mahal. Gambaran peradilan formal yang demikian itulah yang jelas tidak cocok sebagai media penyelesaian sengketa konsumen. Gambaran prosedur peradilan yang formal, mahal dan berbelit-belit, bukan hanya terdapat di Negara-negara berkembang saja. Akan tetapi dalam beberapa kasus besar yang menyangkut kerugian  dan banyaknya korban, barangkali, peradilan adalah tempat yang pas untuk penyelesaian masalah tersebut, karena aspek kepastian hukum seringkali masih dinilai banyak pihak sebagai suatu kelebihan dari dunia litigasi. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dalam sengketa konsumen adalah media penyelesaian sengketa yang cepat, sederhana (tidak formal) dan murah. Apalagi sekarang ini penggantian kerugian yang efektif sudah menjadi salah satu hak dasar konsumen.
Tujuan perlindungan konsumen dalam pasal 3 UUPK (butir c dan d) tegas menyatakan bahwa perlu adanya peningkatan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, serta upaya menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.Dari fenomena tersebut muncul ekspektasi agar hukum dapat ditegakkan secara kokoh dan konsisten, karena ketidak pastian hukum dan kemerosotan wibawa hukum  akan melahirkan krisis hukum. Terwujudnya supremasi hukum menghendaki komitmen seluruh komponen bangsa yang taat pada hukum. Ketaatan ini juga mewajibkan kepada aparat penegak hukum untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. (Abdul Rahman Saleh, 2004:29). Penegakan hukum perlindungan konsumen akan terlihat hasilnya apabila aparatur hukum, (dalam hal ini BPSK)  baik mulai dari perancangan hukumnya serta masyarakat, hingga ke penegak hukumnya bisa menunjukan perannya masing-masing.
Negara Indonesia sekarang ini tengah  mengalami disintegrasi sosial dan ini adalah sebuah persoalan yang harus dihadapi dan harus dikembangkan  kapasitas sistem sosial yang menghormati tingkatan-tingkatan pluralisme.Yang menjadi musuh masyarakat adalah seseorang yang melakukan kejahatan tanpa adanya sanksi dan dibebaskan begitu saja secara mutlak (Mochtar Kusumaatmadja, 2002:85)   Bahwa keberadan hukum dan kultur masyarakat berhubungan erat sekali, karena mempunyai hubungan timbal balik antara keduanya.
Konsepsi hukum yang akomodatif  merupakan salah satu sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat dan hendaknya bisa diterima oleh masyarakat  luas. Peran masyarakat sangat menentukan dalam penegakan hukum di Indonesia. Pada era reformasi saat  ini fungsi dan peranan masyarakat adalah sebagai pihak yang mengontrol terhadap hukum,  dan ini merupakan komponen yang sangat manentukan dan butuh kesadaran dari mereka sendiri. Masyarakat Indonesia tengah berada dalam kondisi ideal dan sebagai tolak ukurnya adalah demokratisasi dan kebebasan menyampaikan pendapat dapat terealisasi dengan adanya aturan-aturan normatif yang sudah ada  sesuai  dengan cita-citakan bersama. Nilai-nilai luhur bangsa Indonesia juga perlu mendapat perhatian sebagaimana yang terkandung dalam filsafat Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sehingga proses transformasi masyarakat benar-benar menjadi satu masyarakat dengan kultur yang. berlandaskan nilai-nilai pancasila. Berdasarkan realitas empirik di atas bahwasanya persoalan penegakan hukum dan transformasi kultur yang ada di masyarakat telah menimbulkan beberapa permasalahn yang berhubungan erat dengan dinamisasi dan progresifitas budaya masyarakat yang berimplikasi terhadap proses penggalian hukum dan penegakan supremasi hukum yang ada.  Makna Penegakan  Hukum Berbagai wacana yang dituangkan dalam berbagai media, hasil penelitian, survei, seringkali penegakan hukum hanya diartikan  sebagai proses peradilan di pengadilan.  Penegakan hukum hanya  diartikan  sebagai  tindakan represif belaka. Penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses penyelesaian perselisihan belaka. Pengertian pengertian tersebut dapat menyesatkan, karena tidak menyentuh  secara menyeluruh fenomena dan masalah penegakan hukum. Ketika penegakan hukum hanya diartikan sebagai proses  di pengadilan belaka, maka akan menyesatkan, karena semestinya penegakan hukum bukan sekedar beracara di pengadilan, tetapi juga di kejaksaan dan kepolisian. Dimata  masyarakat, institusi  ini tidak kurang bermasalah bahkan sumber masalah  bagi masyarakat. Demikian pula ketika penegakan hukum hanya diartiakan  sebagai tindakan represif belaka, tanpa memasukkan upaya  upaya pencegahan. Kalaupun pencegahan dimasukkan, biasanya hanya terbatas  pada tatanan kontrol dalam arti tindakan tindakan seperti  pemeriksaan dan pelaporan. Tidak kalah penting upaya penegakan hukum melalui upaya pencegahan yaitu dengan penataan aturan kerja, tata kerja, sistem pengorganisasian dan sebagainya.Fenomena penegakan hukum bukan semata mata  berkaitan dengan  sengketa atau pelanggaran hukum. Tidak kalah penting adalah  persoalan (sistem) pelayanan hukum. Birokrasi yang berbelit belit, birokrasi yang tidak bersih justru merupakan garda  depan dalam berbagai persoalan  hukum yang dihadapi.
Semua aspek yang dikemukakan tersebut ditambah aspek lain, perlu mendapat pengamatan sistematik dan terintegrasi yang akan lebih mencerminkan fenomena penegakan hukm, yang sekaligus akan menjadi landasan yang lebih kuat, kokoh dan  dalam upaya membangun sistem penegakan dan pelayanan hukum yang benar, adil atau memuaskan.Dimata para intlektual pemahaman terhadap penegakan hukum juga bervariatif. Seorjono  Soekanto, (2004:3) memberikan pengertian bahwa Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap sebagai serangkaian penjabaran nilai tanpa akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh  Sukarton Marmosudjono, bahwa Penegakan hukum adalah keseimbangan dari keseluruhan  keberadaan dan kepribadiannya dan bertindak atas dasar kebenaran serta pertimbangan hati nurani dan keyakinan. Hal senada juga dikemukakan oleh Salahuddin Wahid, bahwa Penegakan hukum adalah upaya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ada dalam kaidah-kaidah hukum tersebut (Salahuddin Wahid, 2003:83). Pendapat yang lain dikemukakan oleh Barda Wawawi Arief, Penegakan hukum pada hakikatnya adalah perlindungan hak asasi manusia, serta tegaknya kebenaran dan keadilan, dan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan praktek favoritisme, yang diwujudkan dalam seluruh norma atau tatanan kehidupan masyarakat (Barda Wawawi Arief, 2001:22. Penegakan hukum adalah sebuah sistem yang akan meliputi berbagai komponen  sebagai subsistem, termasuk penegak hukum itu sendiri. Pergeseran itu juga akan memungkinkan  meninjau secara lebih meluas mengenai fenomena dan persoalan penegakan hukum kita. Suatu keadaan obyektif yang tidak perlu disembunyikan atau ditutupi yaitu masih banyak keluhan mengenai pelaksanaan penegakan hukum. Keluhan tidak hanya dari pencari keadilan yang terlibat yang berkepentingan atas suatu persoalan hukum konkrit, melainkan masyarakat pada umumnya, atau dari mereka yang menempatkan diri sebagai juru bicara pencari keadilan atau masyarakat. Namun sorotan sorotan terhadap keadaan yang obyektif tersebut seringkali juga tidak memuaskan dalam upaya pemecahan masalah, karena pemahaman pemahaman yang diberikan terhadap penegakan hukum  kurang tepat atau kurang lengkap (Baqir Manan, 2005:25)
Fenomena penegakan hukum bukan semata mata  berkaitan dengan  sengketa atau pelanggaran hukum. Tidak kalah penting adalah  persoalan (sistem) pelayanan hukum. Birokrasi yang berbelit belit, birokrasi yang tidak bersih justru merupakan garda depan dalam berbagai persoalan  hukum yang dihadapi. Semua aspek yang dikemukakan tersebut ditambah aspek aspek lain, perlu mendapat pengamatan sistematik dan terintegrasi yang akan lebih mencerminkan  fenomena penegakan hukm, yang sekaligus akan menjadi landasan yang lebih kuat, kokoh dan  dalam upaya membangun sistem penegakan dan pelayanan hukum yang benar, adil atau memuaskan.
II.2         FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENEGAKAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA
Pembaharuan dan penegakan hukum harus dimulai dari pemerintah, aparat hukum dan masyarakat, sebab tidak mudah untuk menyadarkan tentang arti dan makna hukum yang sesungguhnya, keberadaan lembaga-lembaga hukum di negara Indonesia tidak bekerja secara maksimal karena disebabkan oleh faktor-faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor tersebut akan menjadi kendala dalam penegakan hukum di Indonesia. Dalam perkembangan  demokrasi hukum selalu  dituntut untuk maju sesuai dengan paradigma hukum yang menjadi kewajiban kita sebagai masyarakat yang harus peka terhadap perubahan disekitarnya dan juga merupakan tantangan masa depan dalam membangun konstruksi  hukum yang sesuai dengan cita-cita negara hukum. Masyarakat Indonesia yang heterogen dan majemuk serta mempunyai sistem sosial yang berbeda-beda, dapat  memberi pengaruh dan warna terhadap hukum, oleh karena itu rancangan konstruksi hukum harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan  norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Komponen komponen  penegakan hukum perlindungan konsumen  bukan sekedar proses peradilan apalagi proses di pengadilan. Selain itu masih di dapati komponen komponen lain yang besar peran dan pengaruhnya terhadap kegaduhan hukum kita.
Substansi atau aturan hukum yang ditegakkan  atau dilaksanakan Faktor ini merupakan output dari sistem hukum atau norma-norma hukum yang dipergunakan untuk mengatur tingkah laku manusia serta hak dan kewajiban manusia, yaitu mengatur pihak yang menegakan dan melaksanakan hukum maupun pihak yang diatur atau yang terkena peraturan. Keberadaan hukum tertulis ini tergantung pula terhadap kualitas para pembentuknya, sebab dalam pembuatan hukum harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan bersifat stabil yang mampu bertahan untuk jangka waktu yang lama, apabila pembentuk Undang-undang(“legal drafter”) atau peraturan tertulis itu tidak berkualitas (ahli dan professional) maka jangan diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bahkan hanya mementingkan penguasa dan merugikan rakyat atau masyarakat.Permasalahan  substantif hukum adalah kuatnya paradigma positivisme hukum berdasarkan pada tradisi sistem hukum “civil law” yang selalu menitik beratkan pada keberadaan hukum positif sebagai dasar pengambilan keputusan sehingga orientasi utamanya adalah pada pembuatan peraturan perundang-undangan seperti  yang telah dilakukan untuk mengganti produk hukum warisan  Belanda yang bertentangan dengan prinsip negara hukum dan demokrasiSudah menjadi pengetahuan yang luas, banyak dijumpai keadaan yang tidak atau belum memuaskan mengenai aturan aturan hukum yang ditegakkan  ( Hukum substantif atau hukum materiil).
Kelembagaan Penegak Hukum pelaksanaan penegakan hukum adalah lembaga hukum yang diciptakan oleh negara berdasarkan Undang-undang. Hal ini sebagai tolak ukur dalam penegakan hukum di Indonesia yang harus juga di bangun sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh bangsa ini. Penegakan hukum oleh lembaga struktural ini tergantung pada kemampuan, kejujuran (moral), keberanian, dan kemauan bekerja keras secara profesional manusia-manusia yang ada di lembaga tersebut. Sistem lembaga peradilan yang ada belum mampu memberikan pelayanan hukum yang memuaskan sehingga kepercayaan masyarakat mulai pudar terhadapnya, yang terpenting lagi menejemen organisasi yang perlu dibenai dan di evaluasi kembali. Lahirnya BPSK yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan (lihat pasal 49 ayat 1 UUPK) yang penyelesaiannya dilakukan dengan cara mediasi,  konsiliasi dan arbitrase menyebabkan BPSK merupakan lembaga  non litigasi (ADR) atau sebagai lembaga penegak hukum yang diakui keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan.Adanya politik hukum yang menyangkut lembaga peradilan yaitu dibangunnya system dinding dinding pemisah antara pengadilan, kejaksaan dan kepolisian. Dinding dinding pemisah ini bukan saja menimbulkan curiga dan saling menggunjing diantara para penegak hukum, tetapi dalam berbagai hal.
Perilaku Penegak Hukum aparatur hukum merupakan penyumbang atas buruknya sistem hukum Indonesia, citra aparatur hukum sebagai mafia peradilan. Keadilan merupakan barang langka bagi masyarakat, sebab pengadilan lebih merupakan tempat mencari kemenangan berdasarkan kekuatan ekonomi dari tempat mencari keadilan.
Faktor Sarana dan Fasilitas Penegakan hukum tanpa adanya sarana atau fasilitas, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan  lancar, sebab sarana dan fasilitas harus mencakup sumber daya manuasia yang berpendidikan dan terampil, manajemen peradilan/pengorganisasian yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan kesejahteraan aparat penegak hukum yang sesuai dengan pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Karena tugas yang diemban sangatlah berat, oleh  sebab itu sarana dan prasarana merupakan faktor yang mendukung dalam penegakan hukum, dengan demikian pelaksanaan penegakan hukum bisa  secara optimal sesuai dengan rasa keadilan di dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegakan hukum dapat menyerasikan peranan yang seharusnya dilakukan secara aktual.
BAB III
PENUTUP

III.1        KESIMPULAN
Dari tulisan di atas maka penulis mengambil beberapa kesimpulan berupa point-point penting dari tulisan di atas yang sekiranya dapat menjadi harapan bagi seluruh konsumen di Indonesia setelah terciptanya suatu sistem perlindungan konsumen yang baik oleh pemerintah, penegak hukum dan produsen.
Pentingnya Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen aspek hukum merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari negara Indonesia, sebab hukum sebagai tolak ukur dalam pembangunan nasional yang diharapkan mampu memberikan kepercayaan terhadap masyarakat secara luas dan melakukan pembaharuan secara menyeluruh di berbagai aspek.
Penegakan hukum perlindungan konsumen  merupakan bagian yang tidak terpisahkan  dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar pilar negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan  tujuan nasional sebagaimana  terpatri dalam  pembukaan UUD’45. Sejalan dengan agenda prioritas pembangunan nasional serta rencana pemerintah jangka menengah 2004-2009, antara lain mengarahkan perlunya upaya pengamanan perdagangan dalam negeri dan perlindungan konsumen. Upaya tersebut secara sinergi dan simultan dilakukan melalui program pemberdayaan konsumen, penguatan kapasitas kelembagaan, optimalisasi pengawasan barang beredar dan jasa serta kemetrologian.
Penegakan hukum perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan didasarkan kepada undang-undang NO. 8. Tahun 1999 Tantang Pelindungan Konsumen (UUPK), KepPRES NO> 90 Tahun 2001 Tantang Pembentukan BPSK, Keputusan Memperindag RI NO. 301 Tahun 2001 Tentang  Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota dan Sektetariat BPSK, sertaKeputusan Memperindag RI NO. 350 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK, maka terbentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di beberapa kota di Indonesia.
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman atau dasar bagi perbuatan atau sikap yang dianggap sesuai yang bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Penegakan  hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undang semata, tetapi  penegakan supremasi hukum merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan secara umum dalam pembangunan di berbagai bidang, termasuk di bidang perlindungan hak-hak konsumen.
III.2        SARAN
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman atau dasar bagi perbuatan atau sikap yang dianggap sesuai yang bertujuan untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Penegakan  hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undang semata, tetapi  penegakan supremasi hukum merupakan salah satu kunci berhasil tidaknya suatu negara melaksanakan tugas pemerintahan secara umum dalam pembangunan di berbagai bidang, termasuk di bidang perlindungan hak-hak konsumen. Ketika aparat gagal memberikan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, maka ini sebenarnya  dapat dijadikan indikasi kegagalan membangun pemerintahan yang kuat.
Terpenuhinya harapan Konsumen yang pada hakekatnya melakukan transaksi dengan beberapa harapan, terutama dalam memperoleh produk atau layanan yang sebaik-baiknya dalam hal kualitas, jumlah serta harga yang kompetitif, dan dengan kondisi-kondisi yang sebaik-baiknya. Konsumen juga memiliki harapan yang mendasar mengenai produk atau jasa yang dikonsumsinya memenuhi persyaratan kesehatan, keselamatan dan keamanan.
Konsumen Mempunyai Akses yang Efektif Terhadap Informasi Konsumen yang cerdas dan mandiri karena memiliki informasi yang benar, cenderung lebih kritis dan efektif bertransaksi. Pemerintah berupaya untuk meningkatkan aksestabilitas masyarakat terhadap informasi-informasi yang berkaitan dengan transaksi.
Kepastian hukum bagi konsumen dan pelaku usaha Kepercayaan konsumen terhadap pasar bersifat saling memperkuat, dimana pasar yang ”bersahabat” dengan konsumen akan membangun kepercayaan konsumen dan sebaliknya. Kepercayaan tersebut pada gilirannya menimbulkan efek bola salju yang positif, baik bagi kalangan pelaku usaha maupun konsumen. Untuk itu diperlukan keberadaan regulasi, hukum dan lembaga perlindungan konsumen yang berkredibilitas dan dipercaya oleh konsumen dan mereka yang beraktifitas di pasar.
Akses Pemulihan yang Efektif, Konsumen mempunyai akses pemulihan ( redress ) yang responsif dan penanganannya efektif dalam menghadapi pengaduan mereka. Keberadaan jalur, mekanisme-prosedur, dan instrumen hukum perlindungan konsumen yang memadai akan membawa pada perilaku konsumen yang kritis, berani dan mandiri. Akses ini meliputi antara lain: jalur komunikasi antara konsumen dan pelaku usaha, akses layanan pengaduan atau penyelesaian sengketa serta pemenuhan ganti rugi melalui mediasi atau arbitrasi secara non litigasi, termasuk akses melalui lembaga peradilan.
Masyarakat, Pranata Masyarakat dan Dunia Usaha proaktif dalam upaya Perlindungan Konsumen, Pemerintah memerlukan dukungan dan keterlibatan masyarakat, pranata masyarakat dan dunia usaha agar dapat membangun perlindungan konsumen secara berkelanjutan.
Data dan Informasi yang cukup untuk perencanaan dan perumusan kebijakan, Keberadaan data dan informasi yang memadai, akurat serta berkredibilitas adalah keharusan bagi pengembangan kebijakan dan pengambilan keputusan yang tepat. DPK bersama stakeholder perlindungan konsumen lainnya perlu melakukan inventarisasi, kalibrasi dan analisa data dan informasi dalam upaya bersama memberdayakan konsumen.
Perumusan dan pelaksanaan kebijakan didasarkan atas prinsip perlindungan konsumen yang disepakati, Upaya perlindungan konsumen mensyaratkan keterlibatan yang didasari prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang disepakati oleh segenap stakeholder perlindungan konsumen (masyarakat, dunia usaha, akademisi, lembaga konsumen, media massa dan pemerintah).
Kebijakan, proses produksi, dan distribusi barang serta jasa tidak menjadi sumber/jalur stressor terhadap integritas perlindungan konsumen, Integritas perlindungan konsumen pada hakekatnya berhulu pada kebijakan dan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya ekonomi yang terkait dengan suatu barang dan jasa, pola dan metode produksi serta distribusinya.
Lembaga perlindungan konsumen yang berdaya guna, Kelembagaan perlindungan konsumen yang kuat akan menjadi mitra Pemerintah sekaligus masyarakat dalam upaya pemberdayaan, penegakan hukum sekaligus penasehat atau pertimbangan kebijakan pelaksanaan perlindungan konsumen di Indonesia. Lembaga-lembaga konsumen perlu meningkatkan peran dan fungsinya, baik secara mandiri maupun bermitra dengan pemerintah.
Lalu lintas barang dan atau jasa di, ke, dari Indonesia terpantau dan terkendali, Asas keselamatan, kesehatan dan keamanan manusia menjadi asas tertinggi dalam kebijakan perlindungan konsumen. Seperti penyakit sapi gila, mainan anak-anak dari china dan penyebaan susu melamin produk china di Indonesia, yang diduga dapat mengakibatkan penyakit bahkan kematian.
DAFTAR REFRENSI

PEMIKIRAN TEORI HUKUM MURNI DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM POSITIVE


Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada. Memang, baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu hukum; akan tetapi sudut pandang ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda, dan oleh karena itu hasil yang diperoleh ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda. Hukum adalah suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidcah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Ilmu hukum mempelajari gejala-gejala tersebut serta menerangkan arti dan maksud kaidah-kaidah tersebut, oleh karena kaidah-kaidah tadi seringkali tidak jelas. Pelbagai kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat harus digolong-golongkan ke dalam suatu klasifikasi yang sistematis, dan ini juga merupakan salah satu tugas dari ilmu hukum.(Soerjono Soekanto, 2001:9)
Terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat. Sampai sejauh manakah hukum membentuk pola-pola kelakuan yang bersifat atau apakah hukum yang terbentuk dari pola-pola kelakuan itu. Di dalam hal yang pertama, bagaimanakah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-pola kelakuan? Inikah yang merupakan ruang lingkup yang pertama dari sosiologi hukum.
Ruang lingkup yang selanjutnya menyangkut hukum dan pola-pola perikelakuan sebagai ciptaan serta wujud daripada keinginan-keinginan kelompok-kelompok sosial. Kekuatan-kekuatan apakah yang membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak pola-pola perikelakuan yang bersifat yuridis? Selanjutnya, suatu obyek yang tidak mendapat sorotan yang khusus dari ilmu hukum, akan tetapi merupakan bidang penelitian sosiologi hukum adalah hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya. Untuk meneliti hal itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai hukum sedbagai suatu gejala sosial. Jadi, pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serts faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum.
Beberapa Masalah Yang Disoroti Sosiologi Hukum

1.         Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat.

Pada hakekatnya, hal ini merupakan obyek yang menyeluruh dari sosiologi hukum, oleh karena tak ada keragu-raguan lagi bahwa suatu sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial di mana sistem hukum tadi merupakan bagiannya.
  1. Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan sistem-sistem hukum.
Penelitian di bidang ini penting bagi suatu ilmu perbandingan serta untuk dapat mengetahui apakah memang terdapat konsep-konsep hukum yang universal, oleh karena kebutuhan masyarakat setempat memang menghendakinya.
  1. Sifat Sistem Hukum ynag Dualistis.
Baik hukum substantif maupun hukum ajektif, di satu pihak berisikan ketentuan-ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat menjalankan serta memperkembangkan kesamaan derajad manusia, menjamin kesejahteraan dan seterusnya. Akan tetapi di lain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan warga-warga masyarakat atau dapat

Positivisme Hukum

Positivisme di Indonesia lahir karena:

  1. Pendidikan hukum di Indonesia lebih mengarahkan kepada tujuan untuk menciptakan sarjana Hukum yang profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk menerapkan hukum, bagaimana menciptakan SH yang handal dalam profesi hukum karena seolah-olah hukum di dominasi Undang-undang sehingga bersifat positivistik/normatik, maka hukum yang tidak normatik dianggap realtif tidak penting.
Profesi Penetapan UU
Profesi Penerap UU
Law in abstracto
- basic law
- KUHP
- BW
- Ordonansi
Imposed from outside
Civil Law : deduktif : dibuat aturan yang umum yang untuk menyelesaikan kasus. Jadi hukumnya secara nasional sama meski beda daerah oleh legislatif.
Asumsinya UU adalah bagus.
  1. Pendidikan di Indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti model civil law.
Hukum adalah sesuatu yang sudah ada dalam UU atau apa yang sudah ada dalam ordonansi sehingga hukum adat dianggap tidak begitu penting, akan tetapi bisa jadi kalau Indonesia tidak dijajah belanda, maka yang berlaku adalah hukum adat.
-          Civil law cenderung empiris / induktifnya tidak digunakan
-          Lobus de droit : hakim adalah mulut undang-undang karena hakim dalam menentukan putusan sudah ditentukan oleh undang-undang, sehingga penemuan-penemuan hukum menjadi miskin.
  1. Pendidikan hukum di Indonesia lebih banyak mengajukan pada psikologi anatomi hukum tapi kurang mengajarkan pada patologi anatomi hukum dengan asumsinya undang-undang tidak boleh diprotes, UU dianggap sudah baik karena hukum sudah ditentukan asas, pasal dst. Penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga kita tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan hukum. Ketidakpatuhan hukum itu banyak tapi kadang tidak dipersoalkan, padahal hal itu menjadi bagian belajar hukum.
Jadi banyak kasus yang sesungguhnya dari segi normatif bisa benar  tapi dari segi empiris bisa jadi sebaliknya. Sumber hukum bukan hanya Undang-undang saja tapi bisa juga moral dan seterusnya.
Mahkamah konstitusi memeriksa à suatu aturan menjadi undang-undang, apakah bertentangan dengan UU lain, konstitusi dan seterusnya. Jadi tidak mengadili per kasus secara empiris.
Contoh : UU Pemilu Pasal 60 : 3 ada ketentuan mantan PKI tidak bisa jadi caleg.
Positivisme berkembang abad 17-19M. Saat itu berkembang pesat karena konsep negara modern “Trias politica” dari Montesquei yaitu konsep pemisahan kekuasaan  yang mana hukum hanya dibuat oleh legislatif, di luar itu tidak ada undang-undang, yudikatif yang mengadili dan eksekutif yang melaksanakan, kecuali di negara-negara penganut common law, seperti di Romawi, Jerman dan seterusnya, sedangkan Indonesia menganut asas concordansi dari Belanda.
Abad ke-sembilan belas menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum dan abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis. Perkembangan dan perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad ke-sembilan belas menimbulkan semangat serta sikap yang bersikap kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
H.L.A.Hart, membedakan arti dari “positivisme” seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni: pertama, anggapan bahwa Undang-undang adalah perintah-perintah manusia; kedua, anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dengan yang seharusnya ada; ketiga, anggapan bahwa analisis (studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak dilanjutkan; (b) harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari Undang-undang dari penelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral atau sebaliknya; keempat, anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup, artinya, putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral; kelima, anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk atau bukti.
Aliran positivisme atau analytical positivism atau rechtsdogmatiek merupakan aliran yang dominan dalam abad kesembilan belas, hal ini disebabkan oleh dunia profesi yang membutuhkan dukungan dari pikiran positivistis-analitis yang membantu untuk mengolah bahan hukum guna mengambil putusan. Di sisi lain, kehadiran bahan hukum yang begitu masif telah mengundang keinginan intelektuak untuk mempelajarinya, seperti menggolong-golongan, mensistematisir, mencari perbedaan dan persamaan, menemukan asas di belakangnya dan sebagainya. Dalam konteks tersebut, suatu teorisasi mengenai adanya suatu tatanan hukum yang kukuh dan rasional merupakan obsesi dari aliran positivisme tersebut. Hukum harus dapat dilihat sebagai sutu bangunan rasional, dan dari titik ini berbagai teori dan pemikiran dikembangkan. Dlam teoretisi positivis tersebut terdapat nama-nama besar, seperti Hans Kelsen, H.L.A.Hart, Lon Fuller dan Dworkin. Kelsen misalnya, terkenal dengamn Reine Rechtslehre dan Stufenbautheorie yang berusaha untuk membuat suatu kerangka bangunan hukum yang dapat dipakai di manapun.
Teori Hart tentang hukum positif dimulai dengan menjawab pertanyaan “Apakah hukum itu?” Teori Hart menjelaskan bahwa hukum terletak pada penggunaan unsur paksaan. Sementara itu, Teori Lon Fuller menekankan pada isi hukum positif, oleh karena harus dipenuhi delapan persyaratan moral tertentu antara lain:
  1. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman,. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum;
  2. Aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan. Sseringkali otoritas-otoritas cenderung untuk tidak mengumumkan aturan-aturan dengan tujuan mencegah orang mendasarkakn klaim-klaimnya atas aturan-aturan tersebut, sehingga aturan aturan tadi mengikat otoritas-otoritasnya sendiri;
  3. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan dikemudian hari, artinya, hukum tidak boleh berlaku surut;
  4. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat;
  5. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
  6. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan;
  7. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu;
  8. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan kenyataannya.
John Austin, seorang positivisme utama, mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum  adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan hukum-hukum lain yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekannya. Menurut Austin, tugas ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui bahwa ada unsur-unsur yang bersifat historis di dalamnya, tetapi secara sadar unsur-unsur tersebut diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Karya ahli hukum Inggris John Austin (1790-1859) tetap merupakan usaha yang paling lengkap dan penting dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat “yakni negara” bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum. Austin mendefinisikan hukum sebagai:
“ A rule laid down for guidance of an intelligent being by an intelligent being having power over him”
Dengan demikian, hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk serta didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi. Hukum menurut Austin, dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum Tuhan), dan Undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia). Setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum, yang ditentukan secara tegas dan semua hukum positif dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk itu.
“Dalam salah satu artinya, sumber hukum itu adalah pembuatnya yang langsung. Sebab, apakah itu dekat ataukah jauh, pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi, itulah pembuat hukumnya; dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu: ….Perorangan atau badan-badan yang membuat hukum yang berkedudukan di bawah kekuasaan yang berdaulat (the souvereign) lebih tepat untuk diibaratkan sebagai bak cadangan (reservoirs) yang diisi oleh sumber dari semua hukum, yaitu pembuat Undang-undang tertinggi…”(Allen, 1957:2).
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekannya.” (Bodenheimer, 1974:94). Menurut Austin tugas dari ilmu hanyalah untuk menganalisda unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur yang bersifat histeris di dalamnya namun secara sadar unsur-unsur tersebut diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
John Austin (1790-1859) biasanya disebut sebagai bapak ilmu hukum Inggris”, tetapi ternyata kemudian, bahwa sebetulnya Jeremy Bentham (1748-1832) lebih berhak untuk menyandang titel tersebut (Dias, 1976:457). Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak, tetapi Bentham lebih sering memasukkan ke dalam aliran Utilitarinisme, bersama-sama dengan John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolph Von Jhering (1818-1889). Teori model positivistik Austin inilah yang dipandang Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH sebagai produk hukum yang final. Artinya, konsep hukum sebagai produk final lazim bergandengan dengan pemahaman hukum sebagai perintah atau komando.
Persoalannya, mengapa sampai saat ini corak jurisprudence di Indonesia masih belum bergeser dari corak positive jurisprudence sebnagai akibat dari kolonisasi Belanda. Oleh karena itu, perlu mendekonstruksi pemikiran yang berorientasi positif-analitis mengenai teks hukum. Dengan demikian, teori tidak hanya berada di dunianya sendiri yang tidak ada hubungan sama sekali dengan pemecahan sehari-hari. Dalam dataran empirik, hukum dalam praktik pendayagunaannya, tidak selalu bertolak dari premis normatif yang telah selesai disepakati bersama.
Bentham menerapkan prinsip-prinsip umum dari pendekatan utilitarian ke dalam kawasan hukum. Namun demikian, sumbangannya yang paling banyak terletak di bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian etis yang dipakai di sini adalah apakah suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan (Schur, 1968:33). Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar.
Tujuan akhir perundang-undangan adalah adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Prinsip kebahagiaan yang terbesar ini berakar sangat kuat pada keyakinan Bentham dan dengan demikian sangat menentang setiap teori yang mengajarkan tentang hak-hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Rudolph Von Jhering berpaham “social utilitarianism”. Sistem Jhering mengembangkan segi-segi dari positifisme Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Bentham dan Mill. Jhering mengembangkan filsafat hukumnya sesudah melakukan studi yang intensif terhadap hukum Romawi. Hasil renungannya terhadap kehebatan dari hukum Romawi membuatnya sangat tidak menyukai apa yang disebut sebagai Begriffsjurisprudenz (ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep). Studinya mengenai hukum Romawi tersebut telah mengajarkan kepadanya, bahwa kebijaksanaan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik penghalusan dan penyempurnaan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan yang praktis(Friedmann, 1953:222).
Pusat perhatian Jhering adalah konsep ten tang “tujuan”, seperti dikatakannya dalam salah satu bukunya, “ide dasar dri buku ini adalah pemikiran, bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum: tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis” (Bodenheimer, 1974:87). Menurut Jhering, hukum itu dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil sesuatu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoretisi sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu (Bodenheimer, 1974:87)
John Sstuart Mill setuju dengan Bentham, bahwa suatu tindakan itu hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan; sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Ia menyetujui, bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada keguanaannya. Akan tetapi ia berpendapat, bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak diketemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakekat keadilan, dengan demikian, mencangkup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia (Bodenheimer, 1974;86).
Dalam perspektif keilmuan, teori-teori positivisme dengan metode analitisnya sangat mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan karena teori tersebut direduksi menjadi jenis pengetahuan yang mempunyai obyek kajian kasusu tertentu dan diselesaikan secara ringkas dengan sekian pasal dalam teks hukum positif. Penafsiran berjalan secara amat pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus belaka sehingga hukum perdata, dagang, pidana, dan semacamnya hanya membentuk individu yang pandai menghafal pasal-pasal di luar kepala.
Profesi memang sangat memerlukan dukungan atau legitimasi seperti itu, yakni yang dapat melihat hukum itu sebagai bangunan rasional dan mamiliki metode rasional pula. Teori hukum sebagai sistem terbuka dari Paul Scholten merupakan contoh dari pengembangan hukum sebagai bangunan rasional untuk menghadapi kejadian-kejadian dalam masyarakat. Oleh karena hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat, maka hukum di satu pihak memperlihatkan konservatif. Artinya, berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, tetapi di lain pihak juga memperlihatkan modernisme yang berusaha mendorong dan mengarahkan perubahan. Meskipun secara teoretik selalu berorientasi untuk mengarahkan perubahan, tetapi dalam asas praksis, hukum memiliki karakteristik “selalu tertinggal dengan objek yang diaturnya”. Dari titik ini, tampak betapa letak keterbatasan hukum dengan mainstream dogmatika hukum. Dalam perspektif demikian, Indonesia dan juga negara-negara lain di dunia yang mengahadapi masa perubahan sosial besar dibutuhkan pengembangan suatu “teori sosial mengenal hukum”.
Positivisme sebagai sebuah mainstream menempatkan dirinya dalam posisi yang sulit dibela, oleh karena pandangan-pandangannya terhadap hukum yang sangat simplistis jika harus berhadapan dengan suatu problem masyarakat yang kompleks dan rumit. Artinya, positivisme hanya bisa melihat bisa melihat persoalan  secara “hitam putih”, sementara problem yang dihadapi dapat menjadi sangat kompleks justru karena manusia pada dasarnya berbeda. Dalam konteks Indonesia, dominasi pandangan normatif juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan bangsa.
Aliran positif hanya ingin membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak mau sedikitpun memasukkan ke dalam kajiannya hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai, tujuan, maksud dan sebagainya.
Donald Black dalam artikelnya “The Boundaries of Legal Sociology”, menelaah apa ynag sampai saat itu dilakukan dalam bidang sosiologi hukum di Amerika dan sekaligus juga menyatakan bagaimana hendaknya studi dalam bidang tersebut dilakukan. Artikel tersebut dapat dicatat sebagai pengumuman kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti.
Black menyatakan perihal terjadinya kekaburan antara ilmu (science) dan kebijaksanaan (policy) dalam sosiologi hukum. Kendati para sosiologiawan hukum saling mengkritik satu sama lain dalam penggunaan standar ilmu dan ketepatan metodologi serta validitas teori, tetapi menurut Black, itu semua dilakukan dalam kerangka mendiskusikan atau meneliti masalah-masalah kebijaksanaan (policy implications). Cara kerja seperti tersebut sama sekali ditolak oleh Black, oleh karena telah memasukkan dan melibatkan (imparting) aspek-aspek yang bersifat kejiwaan, seperti “emotion”, “indignation” dan “personal involevement”. Seorang sosiologiawan hukum tidak pantas berbicara mengenai sosiologi hukum sebagai seorang borjuis, liberal, pluralis atau melioris. Yang penting bukan pemihakan terhadap sekalian “isme” tersebut, melainkan berkonsentrasi kepada apa yang disebut Black sebagai “style of discourse”.
Salah satu sasaran kritik Black terhadap wacana tematis dalam sosiologi hukum di Amerika pada waktu itu adalah keefektivan hukum. Dalam wacanan tersebut suatu perumusan masalah yang umum telah dilakukan dengan membandingkan realitas hukum dengan suatu ideal hukum tertentu. Suatu kesenjangan khas telah terjadi antara hukum dalam teoroi dan hukum dalam bekerjanya. Oleh Black, keadaan tersebut di atas dapat dinilai bukan sebagai kerja sosiologi yang seharusnya. Disiplin tersebut mesti membedakan antara ranah ilmu dan nilai-nilai. Suatu titik rawan dalam sosiologi hukum adalah pada waktu ia harus menegaskan secara jernih, nahwa hukum muncul dari fakta-fakta yang teramati dan bukan dalam konsep peraturan atau kaidah sebagaimana lazim terjadi pada ilmu hukum (jurisprudence). Menurut Black, dalam ilmu hukum atau penggunaannya sehari-hari, hukum dilihat sebagai keharusan-keharusan yang mengikat. Sosiologi hukum harus membebaskan dirinya dari pemahaman seperti itu dan hanya melihat kepada fakta, seperti putusan hakim, polisi, jaksa dan pejabat administratif. Hanya fakta-fakta itulah yang menjadi urusan sosiologi hukum dan bukan bagaimana seharusnya suatu perilaku itu dijalankan menurut hukum. Suatu pendekatan sosiologi hukum yang murni terhadap hukum tidak melibatkan suatu penilaian terhadap kebijaksaan hukum, melainkan pada analisis ilmiah kehidupan hukum sebagai suatu sistem perilaku (behavior).
Hart mengatakan bahwa seorang pengikut positivisme, diajukan sebagai arti dari positivisme sebagai berikut (Dias, 1976:451):
  1. Hukum adalah perintah.
  2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah uasaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
  3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
  4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
  5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti positivisme ini.
Pemikiran teori hukum murni.
Fokus utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori  hukum murni menolak untuk dijadikan ilmu metafisika hukum.
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannyam, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para pengikutnya. Usaha yang konsisten ini terutama menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma hukum di satu pihak dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di Perancis dan Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum dalam pengertian obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan terakhir menyangkut hubungan antara hukum dan negara. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itui sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans Kelsen.
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum yang mencari keadilan.
Madzhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yakni pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan. Baik Stamler maupun Del Vecchio mengkombinasikan perbedaan bentuk dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler dengan cita hukum yang semu formal yang ditarik dari etika Kant, Del Vecchio dengan instuisi cita keadilannya yang didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan para pengikutnya menolak tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya tidak ilmiah. Teori hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada hakekatnya berbeda dengan alam.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagfai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer, 1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”. (Bodenheimer, 1974:99).
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai berikut (Friedmann, 1953:113):
  1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
  2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
  3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
  4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
  5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yng spesifik.
  6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah: paksanaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa ini (Allen, 1958:51).
Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, suatu dalil akbar dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum, bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu (Allen, 1958:51). Dengan demikian, maka dalil akbar yang disebut sebagai Grundnorm itu kecuali berfungsi sebagai dasar, juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan rejim Grundnorm tersebut harus bisa mengait padanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada di situ, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis.
Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.
Dalam teori Kelsen, sejak mulai dari kelahiran “hipotesi perdana” (initial hypothesis) yang disebut Grundnorm tersebut, maka proses selanjutnya pun berputarlah sudah. Yang disebut sebagai proses di sisni adalah proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar itu dan penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini melahirkanStufentheorie, yaitu yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkrit, sampai kepada yang paling konkrit. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan (Dias, 1976:503).
Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai” (Allen, 1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.(Scholten, 1954:61). Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran logis dan tidak memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga diperoleh hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin merupakan keanehan.
Abad XX
Keadilan kadang sulit terungkap jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim  dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah. Menurut Gustav Radbonch : hukum harus mengandung
  1. Kepastian dengan didasari landasan secara yuridis.
  2. Keadilan dengan didasari landasan secara filosofis
  3. Kemanfaatan dengan didasari landasan secara sosiologis
Jadi UU harus dilandasi ketiga nilai tersebut seiring dengan tuntutan individualisme. Nilai idealisme  hukum sebetulnya merupakan sesuatu yang ideal rule of espectarialitas yang diharapkan.
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
  1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum.
  2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum.
  3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum sebagai tetsachenwissevishaaft law is in the book yang berlawanan dengan law in society
Sosiologi hukum dalam ilmu sebenarnya masuk ke sosiologi bukan hukum. Secara obyek kajian Sosiologi Hukum adalah:
  1. Beroperasinya hukum di masyarakat ( ius operatum) atau Law in Action & pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
  2. Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial& lapisan sosial.
  3. Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Menurut Soetandyo :
  1. Mempelajari hukum sebagai alat pengendali sosial ( by government ).
  2. Mempelajari hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah.
  3. Stratifikasi sosial dan hukum.
  4. Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto :
  1. Hukum dan struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan Social Value masyarakat.
  2. Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.
  3. Stratifikasi sosial dan hukum.
  4. Hukum dan nilai sosial budaya.
  5. Hukum dan kekerasan.
  6. Kepastian hukum dan keadilan hukum.
  7. Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.
Mangabeira Unger sebagai peleak dasar-dasar teoretis dan memberi konstribusi yang sangat besar terhadap gerakan ini. Prof. Dr. L.S. Susanto, S.H. misalnya, seorang ahli kriminologi, melihat suatu fenomena hukum dalam perspetif kritis. Lebih jauh Prof. Dr.I.S.Susanto, S.H.menulis:
“…Analisis yag kritis terhadap proses penegakan hukum maupun terhadap perundang-undangan (pidana) akan memnuka perspektif baru dalam mengembangkan studi mengenai fenomena kejahatan, khususnya yang dapat menimbulkan kerugian-kerugian yang besar terhadap masyarakat, baik kerugian materi maupun kesehatan dan jiwa manusia yang sementara ini kurang mendapatkan perhatian dari pembuat Undang-undang maupun penegak hukum. Di samping itu, karena konteks studi kriminologi yang selama ini dianut justru mulai studinya dari hasil kerja penegakan hukum dan hampir tidak memperhatikan proses bekerjanya hukum, maka bukan saja kekuragan-kekurangan tersebut tidak tampak, akan tetapi malahhan semakin mengaburkan permasalahannya.”
Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. L. S. Susanto,S.H. dalam mempelajari kejahatan/kriminologi, masalahnya bukan semata-mata menjelaskan kejahatan-kejahatan yang ada, tetapi juga membahas perkembangan pola-pola perbuatan apa saja yang secara relatif memiliki kemungkinan untuk menjadi kejahatan dalam perkembangan sosiologi yang pesat. Dalam konteks kriminologi, Prof. Dr.I.S. Susanto, S.H.membuat kategorisasi pendekatan kritis yang secara elatif dibedakan: pertama, interaksionis, berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal di masyarakat tertentu dengan mempelajari “persepsi” makna kejahatan yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan; kedua, konflik yang lebih memfokuskan studinya dalam mempertanyakan “kekuasaan” dalam mendefinisikan kejahatan. Menurut kriminologi konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatan dan bekerjanya hukum. Menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial di mana kelangsungan sosial berlangsung. Oleh karena itu, aliran pemikiran kritis tidak berusaha untuk menjawab petanyaan, apakah perilaku menusia itu bebas atau ditentukan, tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya.
Paradigma positivisme yang selama ini menjadi “kaca mata” dalam membaca hukum telah kehilangan relevansinya dalam menjawab masalah hukum saat ini. Pemeriksaan secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-pandangan selama ini, sepertinya harus dilakukan. Kajian hukum di Indonesia yang secra geneologis berasal dari tradisi hukum Eropa Kontinental atau Civil Law (masuk melalui kolonial Belanda), berkembang di bawah bayang-bayang paradigma positivisme yang menjadi paradigma mainstream di tanah asalnya (Eropa Kontinental). Paradigma ini sebetulnya dari filsafat positivisme Auguste Comte yang kemudian digunakan dalam bidang hukum. Paradigma positivisme memandang hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah dirundingkan si antara warga masyarakat, sebagai sistem aturan yang bersifat otonom dan netral. Masuknya arus utama aliran pemikiran hukum positivisme ke Indonesia—Selain karena dampak dari kolonisasi Belanda, juga tidak dapat dilepaskan dari peranan kaum academic jurist Belanda yang mengawali tonggak pengajaran dan kajian hukum. Sebagai negara yang mewarisi tradisi Civil Law, perkembangan (Ilmu) Hukum di Indonesia memang sangat ditentukan oleh oleh kaum academic jurist; di tangan merekalah terletak wewenang akademik dan profesional dalam menginterpretasikan hukum. Inilah yang membedakan dengan negara yang berada di bawah tradisi Common Law, perkembangan hukumnya ditentukan oleh kaum profesional lawyers sepeti hakim atau pengacara sehingga memungkinkan lahirnya pemikiran dalam memahami hukum di luar aliran pemikiran yang dominan.
Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH adalah salah satu ahli hukum Indonesia yang sangat kritis dan gigih memperjuangkan pemikiran-pemikiran hukum alternatif, sebagai mainstream baru, terutama dengan menampilkan kritik tajam mengenai salah satu aliran pemikiran yang dominan di Indonesia. Pada awalnya, teori hukum kritis melihat ketidakpuasan yang teramat sangat terhadap kondisi ilmu hukum yang ada. Ketidakpuasan dankekecewaan ini bermacam-macam; sebagian lebih menaruh perhatian pada pola pendidikan hukum, yang lainnya pada konservatisme politik pendidikan hukum, sementara yang lainnya lagi mengalami frustasi skibst ketidak-mampuan pendidikan ortodoks mengenai apa yang mereka anggap sebagai masalah yang sebenarnya di dunia hukum kontemporer.
Para penganjur studi hukum kritis tidak sama tingkatan kekecewaannya, tetapi yang jelas mereka semua bereaksi terhadap penjelasan yang ditawarkan oleh ilmu hukum ortodoks, dan menampik konservatisme pendidikan hukum sekaligus menentang berbagai peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga hukum alam masyarakat modern. Reaksi dari teori hukum kritis menggambarkan sesuatu yang lebih dari sekedar mengusik nilai-nilai ortodok. Paling tidak menurut Alan Hunt, memenuhi dua hal:
“Pertama; teknan bahwa ada nilai-nilai ortodoks yang perlu an dpat diperbarui; dan bahwa perdebatan yang terjadi dalam ilmu hukum merupakan sebuah argumen dalam tradisi yang kurang lebih bersifat monolitis. Salah satu bagian penting dari pandangan teori kritis adalah perdebatan yang terus-menerus tentang ikhwal ortodoksi itu sendiri dan sejauhmana semua itu harus diubah; Kedua; Ilmu yang bersifat reaktif adalah untuk menarik perhatian atas kesulitan yang timbul ketika memutuskan untuk menentang bentuk-bentuk ortodoks yang sanat kaku”.
Dominasi pendidikan hukum dogmatik dalam pandangan para pemikir studi hukum kritis merupakan ganjalan utama yang harus dibongkar karena telah membelenggu kreativitas individual dalam menghadapi persoalan-persoalan khas negara di masa krisis, seperti Indonesia. Dengan kata lain, mereka hanya dikonstruksikan untuk menghayati makna yang sudah tersedia dalam teks, tidak perlu bersusah payah untuk memproduksi makna berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri. Oleh karena itu, dalam gerakan hukum kritis yang pekat dengan analisis neo-Marxian, Unger mengusulkan agar menteorisasikan (pengalaman) berpolitik kewarganegaraan sebagai dasar bagi Ilmu Hukum Tata Negara. Teori politik diposisikan sebagai sumber inspirasi pemikir hukum, sedangkan Ilmu Hukum Tata Negara bertugas mentransformasikannya dalam bentuk-bentuk pelembagaan negara.
Di kalangan pendukung Studi Hukum Kritis pun belum terdapat kesepakatan, apakah proyek kritis mereka diarahkan kepda pembentukan sebuah ‘grand theory’ atau tidak. Isu in menjadi perdebatan hangat  di kalangan mereka; ada yang mendukung pencaria alternatif ‘grand theory’, sebaliknya ada yang menolak usaha pencarian ‘grand theory’ alternatif. Terlepas dari perdebatan ini, metode analisis hukum yang mereka kembangkan telah memberi sumbangan yang besar dalam kajian hukum atau jurisprudence.
Kajian-kajian Studi Hukum Kritis tampaknya sangat relevan untuk digunakan menganalisis proses-proses hukum di Indonesia, menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya, maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana studi hukum kritis yang berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Di samping itu, teori hukum kritis merupakan studi atas penalaran ahli hukum dengan menawarkan eksplorasi-eksplorasi filosofis, sinkronis, diakronis dan antropologis. Eksplorasi ini memberi celah bagi pembentukan teori baru di luar Ilmu Hukum sebagai alat bantu untuk menafsirkan sebuah teks hukum diantaranya;
1)      Eksplorasi Filosofis
Dalam teori hukum kritis eksplorasi filosofisnya adalah memusatkan perhatian pada filsafat bahasa. Filsafat bahasa sangat penting sebagai dasar bagi interpretasi itu dan berfungsi lain untuk menghindari perdebatan tentang keadilan yang memang abstrak dan tidak berhubungan dengan kritik teks hukum.
2)      Eksplorasi Sinkronis
Merupakan eksplorasi terhadap semua yang berhubungan dengan segi status ilmu hukum. Diantaranya mempersoalkan: (a) Status Linguistik dari aturan hukum yang selama ini distatiskan; (b) Analisis semiotis terhadapnya; (c) Analisis sosiokritis sebagai alternatif Sosiologi Hukum Empiris dan Sosiologi Hukum Kontemplatif, dan (d) Analisis psikokritis.
3)      Ekplorasi Diakronis
Merupakan ekplorasi atas semua yang berhubungan dengan evolusi. Teori Hukum Kritis membutuhkan pencermatan atas masyarakat teks hukum.
4)      Eksplorasi Antropologis
Studi kebijakan adalah jantung antropologi yang membahas norma-norma dan kelembagaan, ideologi dan kesadaran, pengetahuan dan kuasa, retorika dan wacana, pemaknaan dan interpretasi serta mana yang bersifat global dan lokal. Isu-isu ini dijalankan dengan memperlakukan kebijakan sebagai: (a) bahasa dan kuasa; (b) teknologi politik.
Studi hukum kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum modern dan menyodorkan konsepsi hukum yang lain sebagai gantinya. Gerakan studi hukum kritis ini timbul dari aliran kiri dan praktik hukum modern. Ada dua perhatian menonjol yang menandai aliran ini:
Pertama, kritiknya terhadap formalisme (formalism) dan obyektivisme (objectivism). Formalisme yang dimaksud di sini bukanlah yang telah lazim digambarkan istilah itu: kepercayaan atas tersedia metode deduktif yang memberikan solusi menentukan pada situasi-situasi legal tertentu. Formalisme dalam konteks ini adalah suatu komitmen untuk—dan karena itu juga atas kepercayaan atau kemungkinan konflik—suatu metode pembenaran yang berbeda dengan pertikaian yang tak ada ujungnya menyangkut pengertian-pengertian dasar kehidupan sosial, konflik-konflik yang sering disebut ideologis, filosofis atau fisioner. Pertikaian semacam ini berada di luar –perhatian yang dijaga amat ketat dalam kesimpulan dan argumen yang dituntut kaum formalis pada analisis hukum. Formalisme meyakini impersonalitas tujuan-tujuan, kebijakan-kebijakan dan kaidah-kaidah hukum sebagai komponen-komponen yang tidak terhindarkakn dari pemikiran hukum. Formalisme secara konvensional—mencari metode deduksi dari sistem kekuasaan yang tanpa celah—hanyalah kasus yang terbatas dan menyimpang dari kebiasaan dalam yurisprudensi.
Kedua, tesis kaum formalis yang mencolok hanya lewat metode analisis yang mengekang diri dan relatif apolitis, doktrin hukum dapat dilaksanakan. Doktrin hukum atau analisis hukum adalah suatu praktek konseptual yang menggabungkan dua karakteristik sekaligus; (1) kehendak untuk bekerja dari materi-materi hukum yang ditetapkan secara institusional dalam suatu tradisi kolektif yang sudah ada, dan (2) klaim untuk bicara secara otoritatif menurut kerangka yang sudah tradisi tersebut; dengan menguraikannya untuk—setidaknya pada akhirnya—mempengaruhi pelaksanaannya melalui kekuasaan negara. Menurut pandangan kaum formalis, doktrin dapat timbul karena adanya pertentangan antara rasionalitas analisis hukum yang lebih menentukan dan rasionalitas yang kurang menentukan dari pertarungan ideologis.
Unger menawarkan suatu program yang disebutnya sebagai ‘superliberalism’. Adapun yang dimaksudkannya adalah:
“Program ini mendesak fondasi pikiran tentang negara dan masyarakat tentang kemerdekaan dari ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan, sampai ke titik ketika semuanya melebur menjadi suatu ambisi besar pembentukan suatu dunia sosial yang tidak begitu asing bagi suatu kepribadian yang dapat senantiasa melanggar peraturan generatif dari bangunan mental dan sosialnya sendiri serta menempatkan peraturan dan bangunan lain sebagai –penggantinya.”
Menurut Unger, suatu cara tanpa perselisihan  untuk menjelaskan program ‘superliberalism’ adalah dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan suatu usaha untuk membuaut kehidupan sosial nyaris persisi seperti perilaku politik yang sebagaian besar telah ada dalam masyarakat demokrasi liberal. Akan tetapi, gerakan Studi Hukum Kritis mencapai titik puncaknya di dalam karya Roberto Mangabeira Unger dan Duncan Kennedy yang memaparkan dengan madel dekonstruksionis. Gerakan tersebut menentang nilai yang tercantum dalam seluruh instrumen hukum; secara pasti telah menunjukkan ketidakmampuan dirinya sendiri dalam aplikasi praktis di wilayah hukum, karena posisinya yang meremehkan ‘rule of law’. Imbas Studi Hukum Kritis terhadap aktivitas yudicial dari hari ke hari hanyalah nol.