Pages

Thursday, September 18, 2014

PEMIKIRAN TEORI HUKUM MURNI DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HUKUM POSITIVE


Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada. Memang, baik ilmu hukum maupun sosiologi hukum mempunyai pusat perhatian yang sama yaitu hukum; akan tetapi sudut pandang ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda, dan oleh karena itu hasil yang diperoleh ke dua ilmu pengetahuan tadi juga berbeda. Hukum adalah suatu gejala sosial budaya yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidcah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Ilmu hukum mempelajari gejala-gejala tersebut serta menerangkan arti dan maksud kaidah-kaidah tersebut, oleh karena kaidah-kaidah tadi seringkali tidak jelas. Pelbagai kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat harus digolong-golongkan ke dalam suatu klasifikasi yang sistematis, dan ini juga merupakan salah satu tugas dari ilmu hukum.(Soerjono Soekanto, 2001:9)
Terdapat fakta lain yang tidak diselidiki oleh ilmu hukum yaitu pola-pola kelakuan (hukum) warga-warga masyarakat. Sampai sejauh manakah hukum membentuk pola-pola kelakuan yang bersifat atau apakah hukum yang terbentuk dari pola-pola kelakuan itu. Di dalam hal yang pertama, bagaimanakah cara-cara yang paling efektif dari hukum dalam pembentukan pola-pola kelakuan? Inikah yang merupakan ruang lingkup yang pertama dari sosiologi hukum.
Ruang lingkup yang selanjutnya menyangkut hukum dan pola-pola perikelakuan sebagai ciptaan serta wujud daripada keinginan-keinginan kelompok-kelompok sosial. Kekuatan-kekuatan apakah yang membentuk, menyebarluaskan atau bahkan merusak pola-pola perikelakuan yang bersifat yuridis? Selanjutnya, suatu obyek yang tidak mendapat sorotan yang khusus dari ilmu hukum, akan tetapi merupakan bidang penelitian sosiologi hukum adalah hubungan timbal balik antara perubahan-perubahan dalam hukum dengan perubahan-perubahan sosial dan budaya. Untuk meneliti hal itu, diperlukan pengetahuan yang cukup mengenai hukum sedbagai suatu gejala sosial. Jadi, pada dasarnya ruang lingkup sosiologi hukum adalah pola-pola perikelakuan dalam masyarakat, yaitu cara-cara bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-orang yang hidup bersama dalam masyarakat. Dengan demikian, dapatlah dirumuskan bahwa sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang antara lain meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal untuk menaati hukum tersebut serts faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum.
Beberapa Masalah Yang Disoroti Sosiologi Hukum

1.         Hukum dan Sistem Sosial Masyarakat.

Pada hakekatnya, hal ini merupakan obyek yang menyeluruh dari sosiologi hukum, oleh karena tak ada keragu-raguan lagi bahwa suatu sistem hukum merupakan pencerminan daripada suatu sistem sosial di mana sistem hukum tadi merupakan bagiannya.
  1. Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan sistem-sistem hukum.
Penelitian di bidang ini penting bagi suatu ilmu perbandingan serta untuk dapat mengetahui apakah memang terdapat konsep-konsep hukum yang universal, oleh karena kebutuhan masyarakat setempat memang menghendakinya.
  1. Sifat Sistem Hukum ynag Dualistis.
Baik hukum substantif maupun hukum ajektif, di satu pihak berisikan ketentuan-ketentuan tentang bagaimana manusia akan dapat menjalankan serta memperkembangkan kesamaan derajad manusia, menjamin kesejahteraan dan seterusnya. Akan tetapi di lain pihak, hukum dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengendalikan warga-warga masyarakat atau dapat

Positivisme Hukum

Positivisme di Indonesia lahir karena:

  1. Pendidikan hukum di Indonesia lebih mengarahkan kepada tujuan untuk menciptakan sarjana Hukum yang profesional (keahlian hukum yang monolitik). S1 mencetak tukang untuk menerapkan hukum, bagaimana menciptakan SH yang handal dalam profesi hukum karena seolah-olah hukum di dominasi Undang-undang sehingga bersifat positivistik/normatik, maka hukum yang tidak normatik dianggap realtif tidak penting.
Profesi Penetapan UU
Profesi Penerap UU
Law in abstracto
- basic law
- KUHP
- BW
- Ordonansi
Imposed from outside
Civil Law : deduktif : dibuat aturan yang umum yang untuk menyelesaikan kasus. Jadi hukumnya secara nasional sama meski beda daerah oleh legislatif.
Asumsinya UU adalah bagus.
  1. Pendidikan di Indonesia mewarisi tradisi continental law yang mengikuti model civil law.
Hukum adalah sesuatu yang sudah ada dalam UU atau apa yang sudah ada dalam ordonansi sehingga hukum adat dianggap tidak begitu penting, akan tetapi bisa jadi kalau Indonesia tidak dijajah belanda, maka yang berlaku adalah hukum adat.
-          Civil law cenderung empiris / induktifnya tidak digunakan
-          Lobus de droit : hakim adalah mulut undang-undang karena hakim dalam menentukan putusan sudah ditentukan oleh undang-undang, sehingga penemuan-penemuan hukum menjadi miskin.
  1. Pendidikan hukum di Indonesia lebih banyak mengajukan pada psikologi anatomi hukum tapi kurang mengajarkan pada patologi anatomi hukum dengan asumsinya undang-undang tidak boleh diprotes, UU dianggap sudah baik karena hukum sudah ditentukan asas, pasal dst. Penyakit hukumnya tidak diajarkan sehingga kita tidak terbiasa menganalisis penyimpangan-penyimpangan hukum. Ketidakpatuhan hukum itu banyak tapi kadang tidak dipersoalkan, padahal hal itu menjadi bagian belajar hukum.
Jadi banyak kasus yang sesungguhnya dari segi normatif bisa benar  tapi dari segi empiris bisa jadi sebaliknya. Sumber hukum bukan hanya Undang-undang saja tapi bisa juga moral dan seterusnya.
Mahkamah konstitusi memeriksa à suatu aturan menjadi undang-undang, apakah bertentangan dengan UU lain, konstitusi dan seterusnya. Jadi tidak mengadili per kasus secara empiris.
Contoh : UU Pemilu Pasal 60 : 3 ada ketentuan mantan PKI tidak bisa jadi caleg.
Positivisme berkembang abad 17-19M. Saat itu berkembang pesat karena konsep negara modern “Trias politica” dari Montesquei yaitu konsep pemisahan kekuasaan  yang mana hukum hanya dibuat oleh legislatif, di luar itu tidak ada undang-undang, yudikatif yang mengadili dan eksekutif yang melaksanakan, kecuali di negara-negara penganut common law, seperti di Romawi, Jerman dan seterusnya, sedangkan Indonesia menganut asas concordansi dari Belanda.
Abad ke-sembilan belas menandai munculnya gerakan positivisme dalam ilmu hukum dan abad tersebut menerima warisan pemikiran-pemikiran dari masa-masa sebelumnya yang bersifat idealistis. Perkembangan dan perubahan dalam masyarakat yang terjadi dalam abad ke-sembilan belas menimbulkan semangat serta sikap yang bersikap kritis terhadap masalah-masalah yang dihadapi.
H.L.A.Hart, membedakan arti dari “positivisme” seperti yang banyak disebut dalam ilmu hukum kontemporer, yakni: pertama, anggapan bahwa Undang-undang adalah perintah-perintah manusia; kedua, anggapan bahwa tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dengan yang seharusnya ada; ketiga, anggapan bahwa analisis (studi tentang arti) dari konsepsi-konsepsi hukum: (a) layak dilanjutkan; (b) harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari Undang-undang dari penelitian-penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum apakah dalam arti moral atau sebaliknya; keempat, anggapan bahwa sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup, artinya, putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan lebih dulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, norma-norma moral; kelima, anggapan bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pernyataan-pernyataan tentang fakta, dengan alasan yang rasional, petunjuk atau bukti.
Aliran positivisme atau analytical positivism atau rechtsdogmatiek merupakan aliran yang dominan dalam abad kesembilan belas, hal ini disebabkan oleh dunia profesi yang membutuhkan dukungan dari pikiran positivistis-analitis yang membantu untuk mengolah bahan hukum guna mengambil putusan. Di sisi lain, kehadiran bahan hukum yang begitu masif telah mengundang keinginan intelektuak untuk mempelajarinya, seperti menggolong-golongan, mensistematisir, mencari perbedaan dan persamaan, menemukan asas di belakangnya dan sebagainya. Dalam konteks tersebut, suatu teorisasi mengenai adanya suatu tatanan hukum yang kukuh dan rasional merupakan obsesi dari aliran positivisme tersebut. Hukum harus dapat dilihat sebagai sutu bangunan rasional, dan dari titik ini berbagai teori dan pemikiran dikembangkan. Dlam teoretisi positivis tersebut terdapat nama-nama besar, seperti Hans Kelsen, H.L.A.Hart, Lon Fuller dan Dworkin. Kelsen misalnya, terkenal dengamn Reine Rechtslehre dan Stufenbautheorie yang berusaha untuk membuat suatu kerangka bangunan hukum yang dapat dipakai di manapun.
Teori Hart tentang hukum positif dimulai dengan menjawab pertanyaan “Apakah hukum itu?” Teori Hart menjelaskan bahwa hukum terletak pada penggunaan unsur paksaan. Sementara itu, Teori Lon Fuller menekankan pada isi hukum positif, oleh karena harus dipenuhi delapan persyaratan moral tertentu antara lain:
  1. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman,. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas berarti bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum;
  2. Aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan. Sseringkali otoritas-otoritas cenderung untuk tidak mengumumkan aturan-aturan dengan tujuan mencegah orang mendasarkakn klaim-klaimnya atas aturan-aturan tersebut, sehingga aturan aturan tadi mengikat otoritas-otoritasnya sendiri;
  3. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan-kegiatan dikemudian hari, artinya, hukum tidak boleh berlaku surut;
  4. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat;
  5. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain;
  6. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan;
  7. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu;
  8. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan kenyataannya.
John Austin, seorang positivisme utama, mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum  adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif atau dengan hukum-hukum lain yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekannya. Menurut Austin, tugas ilmu hukum hanyalah untuk menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui bahwa ada unsur-unsur yang bersifat historis di dalamnya, tetapi secara sadar unsur-unsur tersebut diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Karya ahli hukum Inggris John Austin (1790-1859) tetap merupakan usaha yang paling lengkap dan penting dalam hubungannya dengan negara modern. Sumbangan Austin yang paling penting bagi teori hukum adalah digantinya perintah yang berdaulat “yakni negara” bagi tiap cita keadilan dalam definisi hukum. Austin mendefinisikan hukum sebagai:
“ A rule laid down for guidance of an intelligent being by an intelligent being having power over him”
Dengan demikian, hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan didasarkan atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan buruk serta didasarkan pula atas kekuasaan yang lebih tinggi. Hukum menurut Austin, dibagi dalam hukum yang diadakan oleh Tuhan untuk manusia (hukum Tuhan), dan Undang-undang yang diadakan oleh manusia untuk manusia (hukum manusia). Setiap hukum positif dihasilkan dari pembentuk hukum, yang ditentukan secara tegas dan semua hukum positif dibentuk oleh yang berkuasa atau badan yang berwenang untuk itu.
“Dalam salah satu artinya, sumber hukum itu adalah pembuatnya yang langsung. Sebab, apakah itu dekat ataukah jauh, pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi, itulah pembuat hukumnya; dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu: ….Perorangan atau badan-badan yang membuat hukum yang berkedudukan di bawah kekuasaan yang berdaulat (the souvereign) lebih tepat untuk diibaratkan sebagai bak cadangan (reservoirs) yang diisi oleh sumber dari semua hukum, yaitu pembuat Undang-undang tertinggi…”(Allen, 1957:2).
Austin mengartikan ilmu hukum (jurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. “Ilmu tentang hukum berurusan dengan hukum positif, atau dengan hukum-hukum lain yang secara tegas bisa disebut begitu, yaitu yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau kejelekannya.” (Bodenheimer, 1974:94). Menurut Austin tugas dari ilmu hanyalah untuk menganalisda unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui, bahwa ada unsur-unsur yang bersifat histeris di dalamnya namun secara sadar unsur-unsur tersebut diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
John Austin (1790-1859) biasanya disebut sebagai bapak ilmu hukum Inggris”, tetapi ternyata kemudian, bahwa sebetulnya Jeremy Bentham (1748-1832) lebih berhak untuk menyandang titel tersebut (Dias, 1976:457). Bentham adalah pejuang yang gigih untuk hukum yang dikodifikasikan dan untuk merombak, tetapi Bentham lebih sering memasukkan ke dalam aliran Utilitarinisme, bersama-sama dengan John Stuart Mill (1806-1873) dan Rudolph Von Jhering (1818-1889). Teori model positivistik Austin inilah yang dipandang Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH sebagai produk hukum yang final. Artinya, konsep hukum sebagai produk final lazim bergandengan dengan pemahaman hukum sebagai perintah atau komando.
Persoalannya, mengapa sampai saat ini corak jurisprudence di Indonesia masih belum bergeser dari corak positive jurisprudence sebnagai akibat dari kolonisasi Belanda. Oleh karena itu, perlu mendekonstruksi pemikiran yang berorientasi positif-analitis mengenai teks hukum. Dengan demikian, teori tidak hanya berada di dunianya sendiri yang tidak ada hubungan sama sekali dengan pemecahan sehari-hari. Dalam dataran empirik, hukum dalam praktik pendayagunaannya, tidak selalu bertolak dari premis normatif yang telah selesai disepakati bersama.
Bentham menerapkan prinsip-prinsip umum dari pendekatan utilitarian ke dalam kawasan hukum. Namun demikian, sumbangannya yang paling banyak terletak di bidang kejahatan dan pemidanaan. Dalilnya adalah, bahwa manusia itu akan berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan. Standar penilaian etis yang dipakai di sini adalah apakah suatu tindakan itu menghasilkan kebahagiaan (Schur, 1968:33). Pemidanaan menurut Bentham, harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar.
Tujuan akhir perundang-undangan adalah adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Prinsip kebahagiaan yang terbesar ini berakar sangat kuat pada keyakinan Bentham dan dengan demikian sangat menentang setiap teori yang mengajarkan tentang hak-hak asasi yang tidak dapat diganggu gugat. Rudolph Von Jhering berpaham “social utilitarianism”. Sistem Jhering mengembangkan segi-segi dari positifisme Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Bentham dan Mill. Jhering mengembangkan filsafat hukumnya sesudah melakukan studi yang intensif terhadap hukum Romawi. Hasil renungannya terhadap kehebatan dari hukum Romawi membuatnya sangat tidak menyukai apa yang disebut sebagai Begriffsjurisprudenz (ilmu hukum yang menekankan pada konsep-konsep). Studinya mengenai hukum Romawi tersebut telah mengajarkan kepadanya, bahwa kebijaksanaan hukum itu tidak terletak pada permainan teknik-teknik penghalusan dan penyempurnaan konsep-konsep itu untuk melayani tujuan-tujuan yang praktis(Friedmann, 1953:222).
Pusat perhatian Jhering adalah konsep ten tang “tujuan”, seperti dikatakannya dalam salah satu bukunya, “ide dasar dri buku ini adalah pemikiran, bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum: tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis” (Bodenheimer, 1974:87). Menurut Jhering, hukum itu dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil sesuatu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah, tetapi menolak pendapat para teoretisi sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu (Bodenheimer, 1974:87)
John Sstuart Mill setuju dengan Bentham, bahwa suatu tindakan itu hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan; sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Ia menyetujui, bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada keguanaannya. Akan tetapi ia berpendapat, bahwa asal-usul kesadaran akan keadilan itu tidak diketemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang lain yang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakekat keadilan, dengan demikian, mencangkup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia (Bodenheimer, 1974;86).
Dalam perspektif keilmuan, teori-teori positivisme dengan metode analitisnya sangat mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan karena teori tersebut direduksi menjadi jenis pengetahuan yang mempunyai obyek kajian kasusu tertentu dan diselesaikan secara ringkas dengan sekian pasal dalam teks hukum positif. Penafsiran berjalan secara amat pragmatik atau fungsional demi memecahkan kasus belaka sehingga hukum perdata, dagang, pidana, dan semacamnya hanya membentuk individu yang pandai menghafal pasal-pasal di luar kepala.
Profesi memang sangat memerlukan dukungan atau legitimasi seperti itu, yakni yang dapat melihat hukum itu sebagai bangunan rasional dan mamiliki metode rasional pula. Teori hukum sebagai sistem terbuka dari Paul Scholten merupakan contoh dari pengembangan hukum sebagai bangunan rasional untuk menghadapi kejadian-kejadian dalam masyarakat. Oleh karena hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan secara konkret dalam masyarakat, maka hukum di satu pihak memperlihatkan konservatif. Artinya, berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, tetapi di lain pihak juga memperlihatkan modernisme yang berusaha mendorong dan mengarahkan perubahan. Meskipun secara teoretik selalu berorientasi untuk mengarahkan perubahan, tetapi dalam asas praksis, hukum memiliki karakteristik “selalu tertinggal dengan objek yang diaturnya”. Dari titik ini, tampak betapa letak keterbatasan hukum dengan mainstream dogmatika hukum. Dalam perspektif demikian, Indonesia dan juga negara-negara lain di dunia yang mengahadapi masa perubahan sosial besar dibutuhkan pengembangan suatu “teori sosial mengenal hukum”.
Positivisme sebagai sebuah mainstream menempatkan dirinya dalam posisi yang sulit dibela, oleh karena pandangan-pandangannya terhadap hukum yang sangat simplistis jika harus berhadapan dengan suatu problem masyarakat yang kompleks dan rumit. Artinya, positivisme hanya bisa melihat bisa melihat persoalan  secara “hitam putih”, sementara problem yang dihadapi dapat menjadi sangat kompleks justru karena manusia pada dasarnya berbeda. Dalam konteks Indonesia, dominasi pandangan normatif juga sangat dipengaruhi oleh perkembangan kehidupan bangsa.
Aliran positif hanya ingin membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara murni. Mereka tidak mau sedikitpun memasukkan ke dalam kajiannya hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti nilai, tujuan, maksud dan sebagainya.
Donald Black dalam artikelnya “The Boundaries of Legal Sociology”, menelaah apa ynag sampai saat itu dilakukan dalam bidang sosiologi hukum di Amerika dan sekaligus juga menyatakan bagaimana hendaknya studi dalam bidang tersebut dilakukan. Artikel tersebut dapat dicatat sebagai pengumuman kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti. kehadiran aliran positif dan kritik terhadap aliran lain sebagaimana akan diuraikan di bawah nanti.
Black menyatakan perihal terjadinya kekaburan antara ilmu (science) dan kebijaksanaan (policy) dalam sosiologi hukum. Kendati para sosiologiawan hukum saling mengkritik satu sama lain dalam penggunaan standar ilmu dan ketepatan metodologi serta validitas teori, tetapi menurut Black, itu semua dilakukan dalam kerangka mendiskusikan atau meneliti masalah-masalah kebijaksanaan (policy implications). Cara kerja seperti tersebut sama sekali ditolak oleh Black, oleh karena telah memasukkan dan melibatkan (imparting) aspek-aspek yang bersifat kejiwaan, seperti “emotion”, “indignation” dan “personal involevement”. Seorang sosiologiawan hukum tidak pantas berbicara mengenai sosiologi hukum sebagai seorang borjuis, liberal, pluralis atau melioris. Yang penting bukan pemihakan terhadap sekalian “isme” tersebut, melainkan berkonsentrasi kepada apa yang disebut Black sebagai “style of discourse”.
Salah satu sasaran kritik Black terhadap wacana tematis dalam sosiologi hukum di Amerika pada waktu itu adalah keefektivan hukum. Dalam wacanan tersebut suatu perumusan masalah yang umum telah dilakukan dengan membandingkan realitas hukum dengan suatu ideal hukum tertentu. Suatu kesenjangan khas telah terjadi antara hukum dalam teoroi dan hukum dalam bekerjanya. Oleh Black, keadaan tersebut di atas dapat dinilai bukan sebagai kerja sosiologi yang seharusnya. Disiplin tersebut mesti membedakan antara ranah ilmu dan nilai-nilai. Suatu titik rawan dalam sosiologi hukum adalah pada waktu ia harus menegaskan secara jernih, nahwa hukum muncul dari fakta-fakta yang teramati dan bukan dalam konsep peraturan atau kaidah sebagaimana lazim terjadi pada ilmu hukum (jurisprudence). Menurut Black, dalam ilmu hukum atau penggunaannya sehari-hari, hukum dilihat sebagai keharusan-keharusan yang mengikat. Sosiologi hukum harus membebaskan dirinya dari pemahaman seperti itu dan hanya melihat kepada fakta, seperti putusan hakim, polisi, jaksa dan pejabat administratif. Hanya fakta-fakta itulah yang menjadi urusan sosiologi hukum dan bukan bagaimana seharusnya suatu perilaku itu dijalankan menurut hukum. Suatu pendekatan sosiologi hukum yang murni terhadap hukum tidak melibatkan suatu penilaian terhadap kebijaksaan hukum, melainkan pada analisis ilmiah kehidupan hukum sebagai suatu sistem perilaku (behavior).
Hart mengatakan bahwa seorang pengikut positivisme, diajukan sebagai arti dari positivisme sebagai berikut (Dias, 1976:451):
  1. Hukum adalah perintah.
  2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah uasaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis.
  3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.
  4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.
  5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemberian arti positivisme ini.
Pemikiran teori hukum murni.
Fokus utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori  hukum murni menolak untuk dijadikan ilmu metafisika hukum.
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannyam, kedua bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para pengikutnya. Usaha yang konsisten ini terutama menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma hukum di satu pihak dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di Perancis dan Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum dalam pengertian obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan terakhir menyangkut hubungan antara hukum dan negara. Teori hukum murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itui sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans Kelsen.
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya, seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin. Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini menghubungkan kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia, bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih mampu memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum yang mencari keadilan.
Madzhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yakni pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan keinginan. Baik Stamler maupun Del Vecchio mengkombinasikan perbedaan bentuk dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler dengan cita hukum yang semu formal yang ditarik dari etika Kant, Del Vecchio dengan instuisi cita keadilannya yang didasarkan atas kesadaran manusia. Kelsen dan para pengikutnya menolak tiap idealisme hukum seperti itu dan menganggapnya tidak ilmiah. Teori hukum harus murni formal dan di pihak lain hukum pada hakekatnya berbeda dengan alam.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Teori ini boleh dilihat sebagfai suatu pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer, 1974:99). Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan, bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu keadaan yang kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang ada hanya kepentingan-kepentingan”. (Bodenheimer, 1974:99).
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai berikut (Friedmann, 1953:113):
  1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
  2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
  3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
  4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
  5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yng spesifik.
  6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah: paksanaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa ini (Allen, 1958:51).
Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, suatu dalil akbar dan tidak dapat ditiadakan, yang menjadi tujuan dari semua jalan hukum, bagaimana berputar-putarnya pun jalan itu (Allen, 1958:51). Dengan demikian, maka dalil akbar yang disebut sebagai Grundnorm itu kecuali berfungsi sebagai dasar, juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada dalam kawasan rejim Grundnorm tersebut harus bisa mengait padanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum; tetapi ia selalu akan ada di situ, apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu pernyataan yang tidak tertulis.
Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipetuhi dan dia pula yang memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum di situ harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan suatu dalil daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh. Inilah yang disebut revolusi.
Dalam teori Kelsen, sejak mulai dari kelahiran “hipotesi perdana” (initial hypothesis) yang disebut Grundnorm tersebut, maka proses selanjutnya pun berputarlah sudah. Yang disebut sebagai proses di sisni adalah proses konkretisasi setapak demi setapak, mulai dari norma dasar itu dan penerapannya terhadap situasi tertentu. Proses ini melahirkanStufentheorie, yaitu yang melihat tata hukum sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari mulai norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih konkrit, sampai kepada yang paling konkrit. Pada ujung terakhir proses ini, sanksi hukum lalu berupa izin yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi sesuatu yang “boleh” dan “dapat” dilakukan (Dias, 1976:503).
Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai nilai” (Allen, 1958:52). Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai konsep-konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan melupakan nilai kemanusiaannya (Allen, 1958:54). Pengikut-pengikut Kelsen tertentu menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.(Scholten, 1954:61). Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran logis dan tidak memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga diperoleh hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin merupakan keanehan.
Abad XX
Keadilan kadang sulit terungkap jika berhadapan dengan formalisme, dimana hakim  dalam suatu kasus kadang sulit untuk membuktikan meskipun yakin kalau si pelaku bersalah. Menurut Gustav Radbonch : hukum harus mengandung
  1. Kepastian dengan didasari landasan secara yuridis.
  2. Keadilan dengan didasari landasan secara filosofis
  3. Kemanfaatan dengan didasari landasan secara sosiologis
Jadi UU harus dilandasi ketiga nilai tersebut seiring dengan tuntutan individualisme. Nilai idealisme  hukum sebetulnya merupakan sesuatu yang ideal rule of espectarialitas yang diharapkan.
Menurut Prof. Satjipto Rahardjo, ada 3 karakteristik sosiologi hukum sebagai ilmu :
  1. Bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktek-praktek hukum.
  2. Menguji empirical validity dari peraturan/pernyataan dan hukum.
  3. Tidak melakukan penilaian terhadap perilaku hukum sebagai tetsachenwissevishaaft law is in the book yang berlawanan dengan law in society
Sosiologi hukum dalam ilmu sebenarnya masuk ke sosiologi bukan hukum. Secara obyek kajian Sosiologi Hukum adalah:
  1. Beroperasinya hukum di masyarakat ( ius operatum) atau Law in Action & pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat.
  2. Dari segi statiknya (struktur) : kaidah sosial, lembaga sosial, kelompok sosial& lapisan sosial.
  3. Dari segi dinamiknya ( proses sosial), interaksi dan perubahan sosial.
Menurut Soetandyo :
  1. Mempelajari hukum sebagai alat pengendali sosial ( by government ).
  2. Mempelajari hukum sebagai kaidah sosial. Kaidah moral yang dilembagakan oleh pemerintah.
  3. Stratifikasi sosial dan hukum.
  4. Hubungan perubahan sosial dan perubahan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto :
  1. Hukum dan struktur sosial masyarakat. Hukum merupakan Social Value masyarakat.
  2. Hukum, kaidah hukum dan kaidah sosial lainnya.
  3. Stratifikasi sosial dan hukum.
  4. Hukum dan nilai sosial budaya.
  5. Hukum dan kekerasan.
  6. Kepastian hukum dan keadilan hukum.
  7. Hukum sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial.
Mangabeira Unger sebagai peleak dasar-dasar teoretis dan memberi konstribusi yang sangat besar terhadap gerakan ini. Prof. Dr. L.S. Susanto, S.H. misalnya, seorang ahli kriminologi, melihat suatu fenomena hukum dalam perspetif kritis. Lebih jauh Prof. Dr.I.S.Susanto, S.H.menulis:
“…Analisis yag kritis terhadap proses penegakan hukum maupun terhadap perundang-undangan (pidana) akan memnuka perspektif baru dalam mengembangkan studi mengenai fenomena kejahatan, khususnya yang dapat menimbulkan kerugian-kerugian yang besar terhadap masyarakat, baik kerugian materi maupun kesehatan dan jiwa manusia yang sementara ini kurang mendapatkan perhatian dari pembuat Undang-undang maupun penegak hukum. Di samping itu, karena konteks studi kriminologi yang selama ini dianut justru mulai studinya dari hasil kerja penegakan hukum dan hampir tidak memperhatikan proses bekerjanya hukum, maka bukan saja kekuragan-kekurangan tersebut tidak tampak, akan tetapi malahhan semakin mengaburkan permasalahannya.”
Oleh karena itu, menurut Prof. Dr. L. S. Susanto,S.H. dalam mempelajari kejahatan/kriminologi, masalahnya bukan semata-mata menjelaskan kejahatan-kejahatan yang ada, tetapi juga membahas perkembangan pola-pola perbuatan apa saja yang secara relatif memiliki kemungkinan untuk menjadi kejahatan dalam perkembangan sosiologi yang pesat. Dalam konteks kriminologi, Prof. Dr.I.S. Susanto, S.H.membuat kategorisasi pendekatan kritis yang secara elatif dibedakan: pertama, interaksionis, berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal di masyarakat tertentu dengan mempelajari “persepsi” makna kejahatan yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan; kedua, konflik yang lebih memfokuskan studinya dalam mempertanyakan “kekuasaan” dalam mendefinisikan kejahatan. Menurut kriminologi konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam mempengaruhi perbuatan dan bekerjanya hukum. Menurut aliran pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial di mana kelangsungan sosial berlangsung. Oleh karena itu, aliran pemikiran kritis tidak berusaha untuk menjawab petanyaan, apakah perilaku menusia itu bebas atau ditentukan, tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam membangun dunianya.
Paradigma positivisme yang selama ini menjadi “kaca mata” dalam membaca hukum telah kehilangan relevansinya dalam menjawab masalah hukum saat ini. Pemeriksaan secara kritis terhadap paradigma yang mendasari pandangan-pandangan selama ini, sepertinya harus dilakukan. Kajian hukum di Indonesia yang secra geneologis berasal dari tradisi hukum Eropa Kontinental atau Civil Law (masuk melalui kolonial Belanda), berkembang di bawah bayang-bayang paradigma positivisme yang menjadi paradigma mainstream di tanah asalnya (Eropa Kontinental). Paradigma ini sebetulnya dari filsafat positivisme Auguste Comte yang kemudian digunakan dalam bidang hukum. Paradigma positivisme memandang hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah dirundingkan si antara warga masyarakat, sebagai sistem aturan yang bersifat otonom dan netral. Masuknya arus utama aliran pemikiran hukum positivisme ke Indonesia—Selain karena dampak dari kolonisasi Belanda, juga tidak dapat dilepaskan dari peranan kaum academic jurist Belanda yang mengawali tonggak pengajaran dan kajian hukum. Sebagai negara yang mewarisi tradisi Civil Law, perkembangan (Ilmu) Hukum di Indonesia memang sangat ditentukan oleh oleh kaum academic jurist; di tangan merekalah terletak wewenang akademik dan profesional dalam menginterpretasikan hukum. Inilah yang membedakan dengan negara yang berada di bawah tradisi Common Law, perkembangan hukumnya ditentukan oleh kaum profesional lawyers sepeti hakim atau pengacara sehingga memungkinkan lahirnya pemikiran dalam memahami hukum di luar aliran pemikiran yang dominan.
Prof.Dr. Satjipto Rahardjo, SH adalah salah satu ahli hukum Indonesia yang sangat kritis dan gigih memperjuangkan pemikiran-pemikiran hukum alternatif, sebagai mainstream baru, terutama dengan menampilkan kritik tajam mengenai salah satu aliran pemikiran yang dominan di Indonesia. Pada awalnya, teori hukum kritis melihat ketidakpuasan yang teramat sangat terhadap kondisi ilmu hukum yang ada. Ketidakpuasan dankekecewaan ini bermacam-macam; sebagian lebih menaruh perhatian pada pola pendidikan hukum, yang lainnya pada konservatisme politik pendidikan hukum, sementara yang lainnya lagi mengalami frustasi skibst ketidak-mampuan pendidikan ortodoks mengenai apa yang mereka anggap sebagai masalah yang sebenarnya di dunia hukum kontemporer.
Para penganjur studi hukum kritis tidak sama tingkatan kekecewaannya, tetapi yang jelas mereka semua bereaksi terhadap penjelasan yang ditawarkan oleh ilmu hukum ortodoks, dan menampik konservatisme pendidikan hukum sekaligus menentang berbagai peranan yang dimainkan oleh lembaga-lembaga hukum alam masyarakat modern. Reaksi dari teori hukum kritis menggambarkan sesuatu yang lebih dari sekedar mengusik nilai-nilai ortodok. Paling tidak menurut Alan Hunt, memenuhi dua hal:
“Pertama; teknan bahwa ada nilai-nilai ortodoks yang perlu an dpat diperbarui; dan bahwa perdebatan yang terjadi dalam ilmu hukum merupakan sebuah argumen dalam tradisi yang kurang lebih bersifat monolitis. Salah satu bagian penting dari pandangan teori kritis adalah perdebatan yang terus-menerus tentang ikhwal ortodoksi itu sendiri dan sejauhmana semua itu harus diubah; Kedua; Ilmu yang bersifat reaktif adalah untuk menarik perhatian atas kesulitan yang timbul ketika memutuskan untuk menentang bentuk-bentuk ortodoks yang sanat kaku”.
Dominasi pendidikan hukum dogmatik dalam pandangan para pemikir studi hukum kritis merupakan ganjalan utama yang harus dibongkar karena telah membelenggu kreativitas individual dalam menghadapi persoalan-persoalan khas negara di masa krisis, seperti Indonesia. Dengan kata lain, mereka hanya dikonstruksikan untuk menghayati makna yang sudah tersedia dalam teks, tidak perlu bersusah payah untuk memproduksi makna berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri. Oleh karena itu, dalam gerakan hukum kritis yang pekat dengan analisis neo-Marxian, Unger mengusulkan agar menteorisasikan (pengalaman) berpolitik kewarganegaraan sebagai dasar bagi Ilmu Hukum Tata Negara. Teori politik diposisikan sebagai sumber inspirasi pemikir hukum, sedangkan Ilmu Hukum Tata Negara bertugas mentransformasikannya dalam bentuk-bentuk pelembagaan negara.
Di kalangan pendukung Studi Hukum Kritis pun belum terdapat kesepakatan, apakah proyek kritis mereka diarahkan kepda pembentukan sebuah ‘grand theory’ atau tidak. Isu in menjadi perdebatan hangat  di kalangan mereka; ada yang mendukung pencaria alternatif ‘grand theory’, sebaliknya ada yang menolak usaha pencarian ‘grand theory’ alternatif. Terlepas dari perdebatan ini, metode analisis hukum yang mereka kembangkan telah memberi sumbangan yang besar dalam kajian hukum atau jurisprudence.
Kajian-kajian Studi Hukum Kritis tampaknya sangat relevan untuk digunakan menganalisis proses-proses hukum di Indonesia, menganalisis proses-proses pembentukan dan penerapannya, maupun untuk menganalisis suatu doktrin hukum dan bagaimana studi hukum kritis yang berfungsi mengabsahkan suatu sistem sosial atau kebijakan tertentu. Di samping itu, teori hukum kritis merupakan studi atas penalaran ahli hukum dengan menawarkan eksplorasi-eksplorasi filosofis, sinkronis, diakronis dan antropologis. Eksplorasi ini memberi celah bagi pembentukan teori baru di luar Ilmu Hukum sebagai alat bantu untuk menafsirkan sebuah teks hukum diantaranya;
1)      Eksplorasi Filosofis
Dalam teori hukum kritis eksplorasi filosofisnya adalah memusatkan perhatian pada filsafat bahasa. Filsafat bahasa sangat penting sebagai dasar bagi interpretasi itu dan berfungsi lain untuk menghindari perdebatan tentang keadilan yang memang abstrak dan tidak berhubungan dengan kritik teks hukum.
2)      Eksplorasi Sinkronis
Merupakan eksplorasi terhadap semua yang berhubungan dengan segi status ilmu hukum. Diantaranya mempersoalkan: (a) Status Linguistik dari aturan hukum yang selama ini distatiskan; (b) Analisis semiotis terhadapnya; (c) Analisis sosiokritis sebagai alternatif Sosiologi Hukum Empiris dan Sosiologi Hukum Kontemplatif, dan (d) Analisis psikokritis.
3)      Ekplorasi Diakronis
Merupakan ekplorasi atas semua yang berhubungan dengan evolusi. Teori Hukum Kritis membutuhkan pencermatan atas masyarakat teks hukum.
4)      Eksplorasi Antropologis
Studi kebijakan adalah jantung antropologi yang membahas norma-norma dan kelembagaan, ideologi dan kesadaran, pengetahuan dan kuasa, retorika dan wacana, pemaknaan dan interpretasi serta mana yang bersifat global dan lokal. Isu-isu ini dijalankan dengan memperlakukan kebijakan sebagai: (a) bahasa dan kuasa; (b) teknologi politik.
Studi hukum kritis telah menggerogoti gagasan pokok pemikiran hukum modern dan menyodorkan konsepsi hukum yang lain sebagai gantinya. Gerakan studi hukum kritis ini timbul dari aliran kiri dan praktik hukum modern. Ada dua perhatian menonjol yang menandai aliran ini:
Pertama, kritiknya terhadap formalisme (formalism) dan obyektivisme (objectivism). Formalisme yang dimaksud di sini bukanlah yang telah lazim digambarkan istilah itu: kepercayaan atas tersedia metode deduktif yang memberikan solusi menentukan pada situasi-situasi legal tertentu. Formalisme dalam konteks ini adalah suatu komitmen untuk—dan karena itu juga atas kepercayaan atau kemungkinan konflik—suatu metode pembenaran yang berbeda dengan pertikaian yang tak ada ujungnya menyangkut pengertian-pengertian dasar kehidupan sosial, konflik-konflik yang sering disebut ideologis, filosofis atau fisioner. Pertikaian semacam ini berada di luar –perhatian yang dijaga amat ketat dalam kesimpulan dan argumen yang dituntut kaum formalis pada analisis hukum. Formalisme meyakini impersonalitas tujuan-tujuan, kebijakan-kebijakan dan kaidah-kaidah hukum sebagai komponen-komponen yang tidak terhindarkakn dari pemikiran hukum. Formalisme secara konvensional—mencari metode deduksi dari sistem kekuasaan yang tanpa celah—hanyalah kasus yang terbatas dan menyimpang dari kebiasaan dalam yurisprudensi.
Kedua, tesis kaum formalis yang mencolok hanya lewat metode analisis yang mengekang diri dan relatif apolitis, doktrin hukum dapat dilaksanakan. Doktrin hukum atau analisis hukum adalah suatu praktek konseptual yang menggabungkan dua karakteristik sekaligus; (1) kehendak untuk bekerja dari materi-materi hukum yang ditetapkan secara institusional dalam suatu tradisi kolektif yang sudah ada, dan (2) klaim untuk bicara secara otoritatif menurut kerangka yang sudah tradisi tersebut; dengan menguraikannya untuk—setidaknya pada akhirnya—mempengaruhi pelaksanaannya melalui kekuasaan negara. Menurut pandangan kaum formalis, doktrin dapat timbul karena adanya pertentangan antara rasionalitas analisis hukum yang lebih menentukan dan rasionalitas yang kurang menentukan dari pertarungan ideologis.
Unger menawarkan suatu program yang disebutnya sebagai ‘superliberalism’. Adapun yang dimaksudkannya adalah:
“Program ini mendesak fondasi pikiran tentang negara dan masyarakat tentang kemerdekaan dari ketergantungan dan penguasaan hubungan sosial oleh kemauan, sampai ke titik ketika semuanya melebur menjadi suatu ambisi besar pembentukan suatu dunia sosial yang tidak begitu asing bagi suatu kepribadian yang dapat senantiasa melanggar peraturan generatif dari bangunan mental dan sosialnya sendiri serta menempatkan peraturan dan bangunan lain sebagai –penggantinya.”
Menurut Unger, suatu cara tanpa perselisihan  untuk menjelaskan program ‘superliberalism’ adalah dengan mengatakan bahwa hal itu merupakan suatu usaha untuk membuaut kehidupan sosial nyaris persisi seperti perilaku politik yang sebagaian besar telah ada dalam masyarakat demokrasi liberal. Akan tetapi, gerakan Studi Hukum Kritis mencapai titik puncaknya di dalam karya Roberto Mangabeira Unger dan Duncan Kennedy yang memaparkan dengan madel dekonstruksionis. Gerakan tersebut menentang nilai yang tercantum dalam seluruh instrumen hukum; secara pasti telah menunjukkan ketidakmampuan dirinya sendiri dalam aplikasi praktis di wilayah hukum, karena posisinya yang meremehkan ‘rule of law’. Imbas Studi Hukum Kritis terhadap aktivitas yudicial dari hari ke hari hanyalah nol.

0 comments:

Post a Comment