Pages

Thursday, September 18, 2014

Revida Putri : Visum et Repertum


PENDAHULUAN

Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang akan berkedudukan sebagai individu dan sebagai makhluk sosial. Pada umumnya, manusia  akan mengembangkan pola kehidupan dan tingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dalam pergaulan hidup dimana mereka bertempat tinggal. Namun demikian,seiring dengan perkembangan  dalam kehidupan masyarakat sering terdapat keadaan-keadaan yang mengakibatkan penyimpangan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah hukum. Pelanggaran-pelanggaran  tersebut akan mengakibatkan keresahan di dalam masyarakat, karena mereka merasa keamanannya terancam dan terganggu, sehingga masyarakat pun menginginkan tindakan secara tegas terhadap setiap pelanggar hukum. Dalam usaha pencegahan pelanggaran kaidah-kaidah hukum, timbul aturan-aturan hukum yang bertujuan untuk menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Sedangkan aturan-aturan hukum tersebut dibuat oleh pejabat negara yang mempunyai kewenangan untuk membuat suatu Undang-undang atau peraturan lainnya. Untuk itu penegakan hukum dilakukan oleh aparatur negara yang telah ditunjuk negara dengan segala kemampuan untuk dapat memaksakan, menegakkan dan menindak terhadap setiap pelanggar kaidah-kaidah hukum yang telah digariskan oleh negara.
Negara Indonesia adalah negara hukum, kalimat ini tertera jelas di dalam UUD 1945 yakni pada Pasal 1 ayat (3). Bahkan karenanya, semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum.Untuk mengimplementasikan hal tersebut maka negara Indonesia memiliki mekanisme Criminal Justice System yang terdiri dari unsur-unsur penegakkan hukum di negara ini. Seperti yang kita tahu, salah satu aturan hukum Indonesia yang bertujuan untuk menjaga ketertiban di dalam masyarakat adalah hukum pidana, karena di dalam hukum pidana berisi aturan-aturan tentang kehidupan masyarakat yang dibuat dari segi materiil, yaitu mengatur tentang hubungan hukum antara warganegara dan negara. Dalam hal penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindakan pidana, pembuktian merupakan tahap paling menentukan dalam proses persidangan pidana mengingat pada tahap pembuktian tersebut akan ditentukan terbukti tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan penuntut umum.  Oleh karena pembuktian merupakan bagian dari proses peradilan pidana, maka tata cara pembuktian tersebut terikat pada Hukum Acara Pidana yang berlaku yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun 1981.  Dalam pasal 183 Undang-Undang nomor 8 tahun 1981 dinyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”.
Pada awalnya, keberadaan dari norma hukum tersebut sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang menjadi tempat bagi dilahirkannya hukum yang bersangkutan. Sehingga dari kenyataan ini juga, maka terciptalah sebuah istilah di dalam bahasa Latin, yakni ubi societas, ubi ius, yang artinya adalah “dimana ada masyarakat, disitu ada hukum”.Hal ini pulalah yang menjadi sebab mengapa di dalam mempelajari norma hukum tersebut, tetap tidak boleh terlepas dari mempelajari tentang manusia dan tingkah lakunya di dalam masyarakat. Ilmu hukum merupakan ilmu kemasyarakatan yang normatif terutama ketika kita kaitkan hubungan antar manusia (normatieve maarschappij wetwnschap). Adapun salah satu bagian dari ilmu hukum tersebut adalahCriminal Law Science atau disebut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, yang mempelajari norma-norma atau aturan-aturan hukum pidana dan pidananya. Tujuan dari mempelajari hukum pidana tersebut salah satunya adalah agar para petugas hukum itu dapat menerapkan peraturan yang ada.
Perbuatan pidana sendiri tergantung pada adanya kesalahan, yang dalam hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang No.35 Tahun 1999, bahwa dipidananya pelaku apabila:
  1. Adanya alat bukti yang sah menurut Undang-undang.
  2. Adanya keyakinan terhadap seseorang yang dianggap dapat dikenai pertanggung jawaban.
  3. Telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan.
Sedangkan yang disebut sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang adalah seperti yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Sebagai salah satu bagian dari alat bukti khususnya surat, keberadaan Visum et Repertumsungguh sangat penting.Hal ini dikarenakan ada bagian-bagian dalam hal pembuktian yang tidak dapat dilakukan oleh penyidik khususnya penyidik Polri tanpa bantuan dari orang yang ahli di bidangnya terutama bidang kedokteran. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bidang kedokteran forensik sangat diperlukan dalam hal tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh,kesehatan dan nyawa manusia. Tujuan utamanya tentu saja selaras dengan fungsi utama proses peradilan pidana yaitu mencari kebenaran sejauh yang dapat dilakukan oleh manusia dengan tetap menjaga dan menghormati hak dari tersangka maupun hak dari seorang terdakwa.





BAB II
ISI


  1. Pengertian
Pengertian arti harafiah dari Visum et Repertum yakni berasal dari kata “visual” yang berarti melihat dan “repertum” yaitu melaporkan.Sehingga jika digabungkan dari arti harafiah ini adalah apa yang dilihat dan diketemukan sehingga Visum et Repertummerupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain,kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya (Soeparmono,2002:98). Dalam Stbl tahun 1937 No 350 dikatakan bahwa “visa et reperta para dokter yang dibuat baik atas sumpah dokter yang diucapkan pada waktu menyelesaikan pelajarannya di Indonesia.
Dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No.M04/UM/01.06 tahun 1983 pada pasal 10 menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut sebagaiVisum et Repertum. Pendapat seorang dokter yang dituangkan dalam sebuah Visum et Repertum sangat diperlukan oleh seorang hakim dalam membuat sebuah keputusan dalam sebuah persidangan.Hal ini mengingat, seorang hakim sebagai pemutus perkara pada sebuah persidangan,tidak dibekali dengan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan kedokteran forensik ini.Dalam hal ini, hasil pemeriksaan dan laporan tertulis ini akan digunakan sebagai petunjuk sebagaimana yang dimaksud pada  pasal 184 KUHAP tentang alat bukti. Artinya, hasil Visum et Repertum ini bukan saja sebagai petunjuk dalam hal membuat terang suatu perkara pidana namun juga mendukung proses penuntutan dan pengadilan.
Bentuk Visum et Repertum berdasarkan objek :
1)    Visum et Repertum Korban Hidup
  • Visum et Repertum
Visum et Repertum diberikan kepada korban setelah diperiksa didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau aktivitasnya.
  • Visum et Repertum Sementara
Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih dirawat di rumah sakit akibat luka-lukanya akibat penganiayaan.
  • Visum et Repertum Lanjutan
Misalnya visum bagi si korban yang lukanya tersebut (Visum et Repertum Sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun akibat luka-lukanya tersebut si korban kemudian di pindahkan ke rumah sakit atau dokter lain ataupun meninggal dunia.
2)    Visum et Repertum pada mayat
Visum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap atau dengan kata lain berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada mayat.
3)    Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)
4)    Visum et Repertum Penggalian Mayat
5)    Visum et Repertum Mengenai Umur
6)    Visum et Repertum Psikiatrik
7)    Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti
Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, sperma dan sebagainya.
(Peranan Dokter dalam Pembuktian Tindak Pidana,2008 : 51)

  1. Dasar Hukum
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto dkk (Ilmu Kedokteran Forensik,1997) , dasar hukum Visum et Repertum adalah sebagai berikut :
Pasal 133 KUHAP menyebutkan:
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
Selanjutnya,keberadaan Visum et Repertum tidak hanya diperuntukkan kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun seperti VR Psikiatris. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP yaitu :
Pasal 120 (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku dapat dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut:
  1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
  2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
  3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti muncul dalam bentuk Visum et Repertum  Psychiatricum, digunakan untuk dapat mengungkapkan keadaan pelaku perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum  adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum , karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanki pidana :
Pasal 216 KUHP :
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

  1. Peran dan Fungsi
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis  dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia. Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180 KUHAP.
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana pengadaan visum et repertum.

  1. Struktur dan Isi
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai berikut:
a.    Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b.    Bernomor dan bertanggal
c.    Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d.    Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e.    Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan pemeriksaan
f.     Tidak menggunakan istilah asing
g.    Ditandatangani dan diberi nama jelas
h.    Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i.     Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j.     Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertummasing-masing asli
k.    Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun


BAB III
PENUTUP

Pembuatan Visum et Repertum merupakan salah satu bagian dari bentuk pelayanan medikolegal di rumah sakit,namun demikian terkait dengan kedokteran forensik, pembuatan Visum et Repertum juga merupakan bagian dari pembuktian, bahan penuntutan serta pertimbangan bagi seorang hakim untuk memutus perkara dalam sebuah persidangan.
Dalam kaitannya sebagai salah satu bagian dari alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Visum et Repertum harus diminta secara resmi dari pihak yang dapat mengajukan, kemudian di keluarkan oleh pihak yang berhak. Hal ini sangat penting untuk di lakukan mengingat keberadaan Visum et Repertum ini dapat membuat terang sebuah perkara pidana sekalipun dilaksanakan kepada mayat (korban). Walaupun demikian, pada kenyataan yang sering terjadi di lapangan terkait hal ini diantaranya adalah keterbatasan peralatan termasuk penyimpanan rekam medis, kurang baik nya koordinasi antara penyidik Kepolisian dengan dokter  dimana kejadian yang paling sering terjadi adalah sudah rusaknya TKP tindak pidana khususnya yang memerlukan pemeriksaan kedokteran forensik ketika dokter yang akan memeriksa datang/sampai ke TKP tersebut.Hal ini lebih banyak di karenakan kurang cermatnya penyidik yang berada di TKP.
Berbagai perbaikan yang dilakukan baik oleh institusi Kepolisian maupun lembaga Criminal Justice System termasuk pihak kedokteran forensik yang ada di Indonesia, diharapkan bisa membawa perubahan dalam hal penanganan tindak pidana yang terjadi khususnya yang memerlukan dilakukannya pemeriksaan pihak kedokteran guna kepentingan pengeluaran Visum et Repertum.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdul Mun’im Idries,2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik.
2.  Abdul Min’im Idries,2008. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan.
  1. Soeparmono,2002. Kedokteran Forensik di Indonesia.
  2. Juliana Lubis, 2008.Peranan Dokter dalam Pembuktian Tindak Pidana.
  3. Budiyanto,1997.Ilmu Kedokteran Forensik.
  4. Sri Ingeten,2008.Peranan Dokter dalam Pembuktian Perkara Pidana.
  5. Widy Hargus,2006.Peranan Visum et Repertum dalam Pembuktian Tindak Pidana Penghilangan nyawa orang dengan Racun.
  6. Budi Sampurna,2009.Pengantar Mediko-Legal.
  7. Dedi Afandi,2008.Visum et Repertum Pada Korban Hidup.

0 comments:

Post a Comment