Bulan ramadhan tahun ini ternoda oleh aksi perampokan di berbagai daerah. Selama bulan Agustus saja terjadi 6 kali perampokan yang menggunakan senjata api dan senjata tajam (Riau Pos 1 september 2010) Kasus yang heboh adalah kasus perampokan CIMB Niaga Medan yang terjadi tanggal 18 agustus 2010. Pada kasus tersebut jumlah perampok 16 orang dengan dilengkapi senjata lengkap menyerbu dan menggasak uang CIMB Niaga. Uang yang lenyap pun tak tanggung-tanggung, yaitu 1, 5 M. Modus perampokan seperti ini relatif baru, terutama dalam jumlah perampokan dan dilakukan pada siang hari. Para perampok tampak profesional, rapi dan terorganisir. Kasus perampokan tersebut menewaskan satu polisi.
Kasus perampokan menjadi perhatian publik. Publik mungkin bertanya: kenapa ini bisa terjadi?apakah polisi selaku penjaga keamanan tidak bisa mencegah aksi perampokan tersebut?bagaimana pola kerja polisi dalam mengelola sistem keamanan?.pertanyaan ini merupakan bentuk keheranan dan keresahan masyarakat terhadap kondisi akhir-akhir ini. Selama ini banyak kasus-kasus perampokan yang menggunakan senjata api atau senjata tajam tidak tertatangani dengan baik. Banyak kejadian yang seharusnya dapat dicegah, tapi gagal karena sistem keamanan kita masih lemah.
Beberapa teori mengungkapkan motif perampokan yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu motif ekonomi. motif sosial dan politik, dan motif keamanan. Jelas secara an sich, motif ekonomi tampak lebih dominan, namun dibalik itu kita tidak tahu apa agenda dibalik itu. Menurut teori kemungkinan, tindakan kriminal (perampokan) dapat terjadi karena dua hal, persepsi terhadap resiko perampokan lebih rendah dibandingkan hasil yang diperoleh dari perampokan. Seorang atau para perampok tentunya berpikir bahwa risiko melakukan perampokan sangat besar, tidak hanyak dihukum penjara tapi juga nyawa. Bila target perampokannya adalah bank, maka perkiraan target tentu lebih besar, misalkan uang 1 M. Hal tersebut tentunya mengalahkan risiko dari perampokan Kedua. Persepsi tentang kemungkinan keberhasilan dalam melakukan tindakan kriminal. keberhasilan perampokan lebih tinggi daripada kegagalan. Ini bisa terjadi karena analisis terhadap karakteristik situasi, kelebihan dan kelemahan yang dimiliki dan sistem keamanan yang relatif longgar.
Kasus-kasus kriminal sudah sering terjadi khususnya perampokan bank atau nasabah bank. Oleh karena itu, pihak kepolisian dan masyarakat harus tanggap untuk mencegah terulanginya kasus kriminal. Ada salah satu cara yang digunakan untuk mencegah atau mengungkap kasus kriminal, yaitu menggunakan teknik profiling, yaitu suatu teknik investigasi yang bertujuan untuk membuat gambar, sketsa, karakteristik, ciri-ciri individu atau tempat berdasarkan informasi yang diperoleh.. Ada empat asumsi dalam melakukan melakukan proses profiling 1) tempat kejadian kriminal mereflesikan kepribadian pelaku kriminal, 2) metode operasinya yang tertinggal akan cenderung sama, 3) tanda-tandanya yang tertinggal akan cenderung sama, dan 5) kepribadian pelaku kriminal tidak akan berubah (Holmes and Holmes, 1996). Ada dua pendekatan yang digunakan dalam profiling, yaitu, bororentasi pada personal atau dikenal dengan istilah criminal profiling dan berorentasi tempat, daerah atau geographic profiling.
Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik investigasi untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur, tinggi, suku), psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan seting tempat kejadian (scene). Tujuan Criminal profiling adalah membantu aparat penegak hukum dalam memprediksi dan mencari pelaku kriminal sehingga tersangka atau pelaku dengan mudah ditemukan. Metode muncul pertama kali tahun 1800-an., Dr Thomas Bond membuat analisis criminal profiling pada kasus pembunuhan berantai Jack Riper di Tahun 1890. Semenjak itu, metode ini banyak digunakan kepolisian atau FBI dalam meyelidiki kasus –kasus kriminal, pembunuhan, seksual, dan penculikan.
Secara umum ada tiga tahapan dalam melakukan Criminal profiling. Tahap pertama, Input data. Pada tahapan ini proses pengumpulan data dilakukan.di tempat kejadian atau di kantor polisi. Data yang diperlukan meliputi, bukti fisik, gambar/foto tempat kejadian, hasil otopsi, kesaksian korban atau saksi, dan laporan polisi (Meyer, 2000). Tahap kedua, melakukan analisis data. Pada tahapan ini dilakukan analisis terhadap jenis, karakteristik, motif kriminal dan kalau perlu dilakukan rekonstruksi kejadian. Dan tahap ketiga, menghasilkan profil pelaku kriminal. Profil ini meliputi karakteristik personal, perilaku, kepribadian, dan tempat kejadian. Profil ini bersifat umum dan general, artinya, profil ini digunakan memprediksi siapa tersangka atau pelaku kriminal.
Ada dua model dalam criminal profiling, yatu induktif dan deduktif. Model induktif. Membuat profiling berdasarkan informasi yang khusus-khusus (data, statistik) kemudian digeneralisir. Misalkan, menurut hasil statistik, bahwa rentang umur yang melakukan perampokan bank adalah 25-30 tahun. Hasil tersebut digunakan untuk membantu menetapkan profil tersangka pada kasus perampokan lain. Model deduktif kebalikannya, menetapkan profil berdasarkan data-data yang diperoleh dari tempat kejadian, hasil forensik dan korban. Misalkan dalam menetapkan umur tersangka pelaku kriminal, diperoleh dari data-data kriminal yang mendukung pengambilan kesimpulan tersebut..
Kedua, berorentasi pada tempat atau daerah, atau yang dikenal dengan istilah geographical profiling., yaitu suatu teknik investigasi yang menekan pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian tindakan kriminal, yang bertujuan untuk memprediksi tempat tindakan krminal dan tempat tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah ditemukan. Agar hasilnya akurat, maka perlu data-data yang lengkap yang berkaitan dengan tempat tinggal/daerah, dan perilaku, pekerjaan dan rutinitas tersangka atau pelaku kriminal. Untuk pencegahan, model ini tampak banyak digunakan. Misalkan, kita sering melihat di parkiran motor ada peringatan dari kepolisian agar mengunci ganda kendaraan. Peringatan ini berdasarkan data-data di lapangan yang menunjukkan banyak kehilangan kendaraan bermotor akibat kelalain dalam mengunci kendaraan .
Asumsi yang digunakan dalam teknik ini adalah bahwa setiap pelaku yang melakukan tindakan kriminal tentunya menguasai atau mengenali situasi atau tempat yang menjadi target kriminal. Dengan mengetahui seting tempat, peluang keberhasilan dalam melakukan aksinya lebih tinggi Biasanya tempat targetnya tidak jauh dari tempat tinggal, pekerjaaan atau tempat beaktifitas rutin.. Misal, ketika, ingin merampok suatu bank, tentunya sudah faham bagaimana peta dan karakteristik lokasi dan sering kali pelakunya adalah orang dalam.
Ada dua prinsip dasar geographical profiling, yaitu (1) mayoritas pelaku kriminal melakukan tindakan kriminal dekat dengan tempat tinggalnya dan (2) mayoritas tempat tinggal pelaku kriminal dapat ditemukan dalam lingkaran antar pelaku kriminal yang terjauh (Van der kemp dan Van koppen, 2007). Misalkan kasus perampokan di Belanda terjadi 3, 5 km dari rumah tinggal pelaku. Bagaimana di Riau? Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Memang masih banyak merperdebatkan apakah teknik profiling masuk kategori ilmiah atau semi ilmiah khsususnya di kalangan ilmuwan. Hal ini terkait dengan keakuratan, validitas dan reliabilitas teknik ini. Selain itu, keberhasilan teknik ini terlalu dibesar-besarkan media, lewat novel atau film, seperti silience of the lamb, hunnibal. Kelemahahan dari teknik ini adalah terjadi bias, kesalahan, dan prasangka dalam berpikir untuk menetapkan tersangka. Artinya, bisa saja kita berprasangka kepada orang yang mirip profile dari hasil teknik profiling, bahwa dia lah pelakunya, ternyata bukan. Akibat ada pihak-pihak yang dirugikan karena salah tangkap.
Terlepas dari itu semua, teknik ini telah banyak digunakan di kalangan kepolisian dalam mencegah dan mengungkap kasus kriminal. Agar memperoleh hasil maksimal, dan akurat, maka teknik profiling ini harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki skill yang dibutuhkan. Menurut Hazelwood, dkk (1995) ada empat skill yang dibutuhkan, yaitu, 1) memahami tipe orang yang melakukan kriminal, 2) pengalaman dalam melakukan investigasi, 3) kemampuan berpikir objektif dan logis, dan 4) kemampuan intuisi. Semoga dengan penggunaan teknik ini, tingkat kriminalitas dapat dicegah dan berkurang sehingga negara kita lebih aman dan nyaman. Wassalaam.
Kasus perampokan menjadi perhatian publik. Publik mungkin bertanya: kenapa ini bisa terjadi?apakah polisi selaku penjaga keamanan tidak bisa mencegah aksi perampokan tersebut?bagaimana pola kerja polisi dalam mengelola sistem keamanan?.pertanyaan ini merupakan bentuk keheranan dan keresahan masyarakat terhadap kondisi akhir-akhir ini. Selama ini banyak kasus-kasus perampokan yang menggunakan senjata api atau senjata tajam tidak tertatangani dengan baik. Banyak kejadian yang seharusnya dapat dicegah, tapi gagal karena sistem keamanan kita masih lemah.
Beberapa teori mengungkapkan motif perampokan yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu motif ekonomi. motif sosial dan politik, dan motif keamanan. Jelas secara an sich, motif ekonomi tampak lebih dominan, namun dibalik itu kita tidak tahu apa agenda dibalik itu. Menurut teori kemungkinan, tindakan kriminal (perampokan) dapat terjadi karena dua hal, persepsi terhadap resiko perampokan lebih rendah dibandingkan hasil yang diperoleh dari perampokan. Seorang atau para perampok tentunya berpikir bahwa risiko melakukan perampokan sangat besar, tidak hanyak dihukum penjara tapi juga nyawa. Bila target perampokannya adalah bank, maka perkiraan target tentu lebih besar, misalkan uang 1 M. Hal tersebut tentunya mengalahkan risiko dari perampokan Kedua. Persepsi tentang kemungkinan keberhasilan dalam melakukan tindakan kriminal. keberhasilan perampokan lebih tinggi daripada kegagalan. Ini bisa terjadi karena analisis terhadap karakteristik situasi, kelebihan dan kelemahan yang dimiliki dan sistem keamanan yang relatif longgar.
Kasus-kasus kriminal sudah sering terjadi khususnya perampokan bank atau nasabah bank. Oleh karena itu, pihak kepolisian dan masyarakat harus tanggap untuk mencegah terulanginya kasus kriminal. Ada salah satu cara yang digunakan untuk mencegah atau mengungkap kasus kriminal, yaitu menggunakan teknik profiling, yaitu suatu teknik investigasi yang bertujuan untuk membuat gambar, sketsa, karakteristik, ciri-ciri individu atau tempat berdasarkan informasi yang diperoleh.. Ada empat asumsi dalam melakukan melakukan proses profiling 1) tempat kejadian kriminal mereflesikan kepribadian pelaku kriminal, 2) metode operasinya yang tertinggal akan cenderung sama, 3) tanda-tandanya yang tertinggal akan cenderung sama, dan 5) kepribadian pelaku kriminal tidak akan berubah (Holmes and Holmes, 1996). Ada dua pendekatan yang digunakan dalam profiling, yaitu, bororentasi pada personal atau dikenal dengan istilah criminal profiling dan berorentasi tempat, daerah atau geographic profiling.
Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik investigasi untuk mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur, tinggi, suku), psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan seting tempat kejadian (scene). Tujuan Criminal profiling adalah membantu aparat penegak hukum dalam memprediksi dan mencari pelaku kriminal sehingga tersangka atau pelaku dengan mudah ditemukan. Metode muncul pertama kali tahun 1800-an., Dr Thomas Bond membuat analisis criminal profiling pada kasus pembunuhan berantai Jack Riper di Tahun 1890. Semenjak itu, metode ini banyak digunakan kepolisian atau FBI dalam meyelidiki kasus –kasus kriminal, pembunuhan, seksual, dan penculikan.
Secara umum ada tiga tahapan dalam melakukan Criminal profiling. Tahap pertama, Input data. Pada tahapan ini proses pengumpulan data dilakukan.di tempat kejadian atau di kantor polisi. Data yang diperlukan meliputi, bukti fisik, gambar/foto tempat kejadian, hasil otopsi, kesaksian korban atau saksi, dan laporan polisi (Meyer, 2000). Tahap kedua, melakukan analisis data. Pada tahapan ini dilakukan analisis terhadap jenis, karakteristik, motif kriminal dan kalau perlu dilakukan rekonstruksi kejadian. Dan tahap ketiga, menghasilkan profil pelaku kriminal. Profil ini meliputi karakteristik personal, perilaku, kepribadian, dan tempat kejadian. Profil ini bersifat umum dan general, artinya, profil ini digunakan memprediksi siapa tersangka atau pelaku kriminal.
Ada dua model dalam criminal profiling, yatu induktif dan deduktif. Model induktif. Membuat profiling berdasarkan informasi yang khusus-khusus (data, statistik) kemudian digeneralisir. Misalkan, menurut hasil statistik, bahwa rentang umur yang melakukan perampokan bank adalah 25-30 tahun. Hasil tersebut digunakan untuk membantu menetapkan profil tersangka pada kasus perampokan lain. Model deduktif kebalikannya, menetapkan profil berdasarkan data-data yang diperoleh dari tempat kejadian, hasil forensik dan korban. Misalkan dalam menetapkan umur tersangka pelaku kriminal, diperoleh dari data-data kriminal yang mendukung pengambilan kesimpulan tersebut..
Kedua, berorentasi pada tempat atau daerah, atau yang dikenal dengan istilah geographical profiling., yaitu suatu teknik investigasi yang menekan pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian tindakan kriminal, yang bertujuan untuk memprediksi tempat tindakan krminal dan tempat tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah ditemukan. Agar hasilnya akurat, maka perlu data-data yang lengkap yang berkaitan dengan tempat tinggal/daerah, dan perilaku, pekerjaan dan rutinitas tersangka atau pelaku kriminal. Untuk pencegahan, model ini tampak banyak digunakan. Misalkan, kita sering melihat di parkiran motor ada peringatan dari kepolisian agar mengunci ganda kendaraan. Peringatan ini berdasarkan data-data di lapangan yang menunjukkan banyak kehilangan kendaraan bermotor akibat kelalain dalam mengunci kendaraan .
Asumsi yang digunakan dalam teknik ini adalah bahwa setiap pelaku yang melakukan tindakan kriminal tentunya menguasai atau mengenali situasi atau tempat yang menjadi target kriminal. Dengan mengetahui seting tempat, peluang keberhasilan dalam melakukan aksinya lebih tinggi Biasanya tempat targetnya tidak jauh dari tempat tinggal, pekerjaaan atau tempat beaktifitas rutin.. Misal, ketika, ingin merampok suatu bank, tentunya sudah faham bagaimana peta dan karakteristik lokasi dan sering kali pelakunya adalah orang dalam.
Ada dua prinsip dasar geographical profiling, yaitu (1) mayoritas pelaku kriminal melakukan tindakan kriminal dekat dengan tempat tinggalnya dan (2) mayoritas tempat tinggal pelaku kriminal dapat ditemukan dalam lingkaran antar pelaku kriminal yang terjauh (Van der kemp dan Van koppen, 2007). Misalkan kasus perampokan di Belanda terjadi 3, 5 km dari rumah tinggal pelaku. Bagaimana di Riau? Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Memang masih banyak merperdebatkan apakah teknik profiling masuk kategori ilmiah atau semi ilmiah khsususnya di kalangan ilmuwan. Hal ini terkait dengan keakuratan, validitas dan reliabilitas teknik ini. Selain itu, keberhasilan teknik ini terlalu dibesar-besarkan media, lewat novel atau film, seperti silience of the lamb, hunnibal. Kelemahahan dari teknik ini adalah terjadi bias, kesalahan, dan prasangka dalam berpikir untuk menetapkan tersangka. Artinya, bisa saja kita berprasangka kepada orang yang mirip profile dari hasil teknik profiling, bahwa dia lah pelakunya, ternyata bukan. Akibat ada pihak-pihak yang dirugikan karena salah tangkap.
Terlepas dari itu semua, teknik ini telah banyak digunakan di kalangan kepolisian dalam mencegah dan mengungkap kasus kriminal. Agar memperoleh hasil maksimal, dan akurat, maka teknik profiling ini harus dilakukan oleh orang-orang yang memiliki skill yang dibutuhkan. Menurut Hazelwood, dkk (1995) ada empat skill yang dibutuhkan, yaitu, 1) memahami tipe orang yang melakukan kriminal, 2) pengalaman dalam melakukan investigasi, 3) kemampuan berpikir objektif dan logis, dan 4) kemampuan intuisi. Semoga dengan penggunaan teknik ini, tingkat kriminalitas dapat dicegah dan berkurang sehingga negara kita lebih aman dan nyaman. Wassalaam.
Referensi:
Eric Beauregard, Patrick Lussier, and Jean Proulx. 2007.Criminal Propensityand Criminal Opportunity An Investigation of Crime Scene Behaviorsof Sexual Aggressors of Women. In Criminal Profiling: International Theory, Research, and Practice Edited by: R. N. Kocsis © Humana Press Inc., Totowa, NJ
Eric Beauregard, Patrick Lussier, and Jean Proulx. 2007.Criminal Propensityand Criminal Opportunity An Investigation of Crime Scene Behaviorsof Sexual Aggressors of Women. In Criminal Profiling: International Theory, Research, and Practice Edited by: R. N. Kocsis © Humana Press Inc., Totowa, NJ
MCGrath, MG. 2000.Criminal profiling; is there a role for the forensic psychiatrist?. Americian Academy Psychiatry law, 28, 3; 15-24.
Jasper J. van der Kemp and Peter J. van 2007. Fine-Tuning Geographical Profiling Koppen In Criminal Profiling: International Theory, Research, and Practice Edited by: R. N. Kocsis © Humana Press Inc., Totowa, NJ
0 comments:
Post a Comment