Kota Surabaya sebenarnya hanya mempunyai wisata alam Pantai Kenjeran. Namun, upaya pemerintah kota yang terus menyempurnakan infrastruktur kota dan fasilitas umum menumbuhkan pesona tersendiri pada kota ini.
Segala yang asli, seperti bangunan, pasar tradisional, rumah-rumah tua di perkampungan Peneleh, Ketandan, Maspati, dan permukiman nelayan di Kenjeran, dipertahankan seperti sedia kala. Surabaya tempo dulu itu dibenahi lingkungannya tanpa mengubah bentuk dan letaknya.
Sekarang, hampir semua perkampungan tidak cuma tertata, tetapi kian asri. “Tidak ada jalan atau gang kumuh meski sempit. Warganya pun berlomba menjaga kebersihan dan keasrian lingkungannya dan semua aksi warga didukung Pemerintah Kota Surabaya,” kata Arief Triastika (35), yang memilih Kota Surabaya sebagai tempat tinggal keluarga meski bekerja di Jakarta.
Daya tarik Surabaya makin kuat karena banyak gedung dan kawasan bersejarah sudah dibenahi sehingga menarik dikunjungi meski harus berjalan kaki di tengah terik matahari. Kearifan lokal, seperti rumah bersejarah, perkampungan, pabrik gula sekarang menjadi kantor, pasar tradisional yang dipertahankan dan dibenahi tanpa mengubah bentuk aslinya, kata Ina Silas dari House of Sampoerna (HOS), menjadi daya pikat.
Dia mengatakan, HOS menyediakan bus wisata bagi turis untuk mengikuti Heritage Track secara gratis selama 1,5 jam. Peserta napak tilas wisata sejarahdi kota yang berusia 723 tahun ini akan diajak berkeliling ke tempat bersejarah, seperti Jembatan Merah, Tugu Pahlawan, Jembatan Petekan, Gedung Nasional Indonesia, dan perkampungan.
Tanpa menggusur
Keaslian kota tidak hanya dilakukan dengan tetap menjaga dan melestarikan bangunan-bangunan bersejarah, tetapi juga dengan penataan kota tanpa menggusur. Kawasan kota ditata, rumah penduduk dicat warna- warni, dan sarana ekonomi disiapkan. Akses ke segala penjuru kota pun dibuka sehingga dari barat ke timur dan utara ke selatan tanpa sekat lagi. Pemkot Surabaya pun terus melengkapi fasilitas umum agar warga semakin sejahtera.
Alasannya, pembangunan pasti memunculkan kreativitas warga dalam segala hal, terutama ekonomi. “Jika kota ini nyaman, investor berlomba menanam modal dan pengunjung pun pasti kian betah,” begitu kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat meresmikan Jembatan Suroboyo sepanjang 800 meter di Kenjeran, 9 Juli lalu.
Menurut Kuncarsono Prasetyo (36), pengusaha kaus bermerek “Sawoong” yang tinggal di Peneleh, Pemerintah Kota Surabaya benar-benar mempertahankan kearifan lokal dalam membenahi lingkungan kota. Dengan penataan perkampungan ini, kini semakin banyak turis asing yang mengunjungi Surabaya.
“Turis asing dari Jerman, Belanda, dan Perancis meningkat jumlahnya dan datang sebagai backpacker. Mereka blusukan dari kampung ke kampung melihat rumah tempat lahir Bung Karno, rumah Cokroaminoto, lalu ke makam Wage Rudolf Soepratman serta perkampungan Peneleh dan Pasar Pabean,” kata mantan wartawan yang siap memandu turis napak tilas di kawasan Peneleh ini.
Untuk mendukung mobilitas warga dan siapa pun yang berkunjung ke Surabaya, pemkot kini tengah menyiapkan pembangunan transportasi massal trem dan monorel. Sayangnya, di tengah upaya besar itu, armada dan rute angkutan kota masih minim. Belum ada penitipan barang di terminal, stasiun kereta api, dan tempat umum, termasuk brosur “isi perut” kota ini.
Padahal, brosur bisa menginformasikan peta, rumah sakit, tempat wisata, pasar tradisional, pertunjukan seni dan budaya, taman, restoran, serta warung makan, termasuk rute angkutan kota dan kampung unggulan. Apalagi, fasilitas MICE atau pertemuan, insentif, konvensi, dan pameran sudah memadai untuk kegiatan tingkat internasional dengan peserta hingga 5.000 orang.
“Singapura sudah menyediakan brosur cuma-cuma di stasiun, terminal, dan bandara, bahkan tempat umum, sehingga turis lebih mudah menjelajahi kota ini karena termasuk rute bus, kereta, dan angkutan kota misalnya,” kata Kuncarsono yang mulai menawarkan paket Heritage Walk bagi turis di kawasan Peneleh.
Tertata dan nyaman
Dari sisi suasana, kota perdagangan ini mirip Singapura. Begitu memasuki wilayah Kota Surabaya di perbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, di bundaran Waru suasana begitu kontras. Mulai Jalan Achmad Yani lalu ke Jalam Raya Darmo hingga Pelabuhan Tanjung Perak, taman dengan beragam pohon dan bunga, yang setiap enam bulan berganti jenis, benar-benar memberikan keteduhan dan kenyamanan. Kondisi kota yang benar-benar hijau, nyaman, tertata, dan tertib inilah yang menjadi keelokan Surabaya.
“Magnet lain, banyak pilihan wisata kuliner yang otentik yang benar-benar bisa menggoyang lidah, seperti rawon, rujak cingur, bebek, soto, lontong kupang, dan semanggi,” kata pemilik usaha Lucky Lokononto (52), pengusaha yang rutin menjamu kliennya yang menanam modal di kota berpenduduk 2,9 juta jiwa ini.
Surabaya yang beradab karena dibenahi tanpa ada penggusuran justru pembenahan ini, menjadi penggerak kreativitas warga agar lebih sejahtera, diakui Programme on Public Space Urban Planning and Design Branch United Nations Habitat, Cecilia Andersson.
Selama lima hari berada di Surabaya, saat Prepcom III UN Habitat minggu terakhir Juli lalu, dia berkeliling kampung. Cecilia mengapresiasi Pemkot Surabaya yang berhasil merangkul dan mengajak warga terlibat dalam melestarikan dan membenahi kampung masing-masing. Dengan cara ini, semakin banyak orang dari luar Surabaya ingin berkunjung ke kota ini.
Keberhasilan Surabaya ini menjadi acuan bagi PBB pada Kongres UN Habitat di Quito, Ekuador, 17-20 Oktober mendatang.
Selama lima hari, 4.000 peserta Third Preparatory Committee of the Habitat III Conference berada di Surabaya dan setiap hari ada kegiatan field trip. Acara ini kesempatan bagi Pemkot Surabaya untuk menunjukkan keunggulan Surabaya dari sektor wisata, pembangunan fisik dan sumber daya manusia, serta memiliki 14 kampung sesuai dengan sektor yang dikembangkan.
Peserta pun masuk-keluar perkampungan, sentra industri, taman, dam Jembatan Suroboyo sambil menikmati pertunjukan air mancur menari dan menikmati kuliner di Sentra Ikan Bulak Kenjeran. Wisatawan pun bisa berperahu di sepanjang Kali Mas. Lewat kegiatan hari bebas berkendara setiap hari Minggu, Surabaya pun mulai menghidupkan jalan dan kumpul sambil menikmati aneka kuliner khas Surabaya di Jalan Tunjungan.
Seperti lagu “Rek Ayo Rek”:
Rek ayo rek mlaku mlaku nang Tunjungan
Rek ayo rek rame rame bebarengan
Cak ayo cak sopo gelem melu aku
Cak ayo cak golek kenalan cah ayu…. kini kembali bisa dialami arek suroboyo dan juga turis jika bertandang ke Surabaya.
from DETIK INDONESIA NEWS http://ift.tt/2trxKJp
via IFTTT
0 comments:
Post a Comment