Saya hanya sejenak berada di Taman Bungkul Surabaya. Rasa penasaran membuat saya akhirnya pergi ke tempat itu.
Maklum, Taman Bungkul telah terkenal sebagai satu di antara beberapa ikon Surabaya. Sehingga ketika saya mendapat kesempatan berkunjung ke Surabaya, Taman Bungkul menjadi tempat yang wajib dikunjungi.
Meski sebenarnya, saya yang datang ke Surabaya untuk urusan pekerjaan, tak punya banyak waktu buat berkeliling kota.
Kamis (20/10/2016), saya bersama beberapa teman mampir di Taman Bungkul Surabaya. Kami menumpang satu unit mobil.
Waktu menunjukkan hampir tengah malam. Tetapi, tempat parkir mobil di Taman Bungkul terlihat padat. Bahkan, kami membutuhkan waktu beberapa saat, buat mendapatkan tempat untuk parkir.
“Kalau malam Minggu dan hari Minggu, malah lebih ramai lagi,” kata seorang teman yang memang tinggal di Surabaya.
Area parkir mobil berada di bagian belakang Taman bungkul, atau di sebelah timur. Sementara, sisi muka Taman Bungkul berada di sebelah barat.
Mengutip Wikipedia, Taman Bungkul Surabaya berada di atas lahan seluas 900 meterpersegi. Taman Bungkul terbagi menjadi beberapa area.
Ada arena papan luncur (skateboard) dan BMX, jalur lari, area hijau dengan air mancur, taman bermain anak, pusat jajanan serba ada (pujasera), hingga plaza, berupa tempat lapang terbuka. Selain itu, ada juga fasilitas wifi dan telepon umum.
Saya duduk di plaza. Beberapa orang yang membentuk kelompok-kelompok, terlihat asyik bercengkerama.
Plaza adalah lapangan kosong berbentuk bundar berdiameter 33 meter. Di sisi lingkaran itu, bangunan setinggi sekitar satu meter dibuat. Bangunan itu memiliki dua undakan.
Di tempat itulah, kelompok-kelompok orang berbincang sambil duduk, baik di undakan pertama maupun di pucuk bangunan.
Menurut seorang teman, plaza tersebut kerap digunakan sebagai arena konser musik, atau acara lain. Biasanya, acara-acara itu diadakan pada Sabtu malam atau hari Minggu.
Saat saya sedang duduk sambil memandang kerumunan orang, seorang perempuan tiba-tiba menghampiri saya. Ia menyodorkan selembar kertas.
“Mau pesan makan atau minum?” tanya perempuan itu, sambil memperlihatkan daftar menu dalam kertas yang ia genggam.
Saat itu saya tersadar, pedagang yang menjajakan barang jualannya, sama sekali tak ada di Taman Bungkul Surabaya.
“Ah, mungkin karena sudah malam,” pikir saya.
Tetapi dari penjelasan yang saya terima kemudian, pedagang dilarang berjualan di dalam taman. Karena itu, beberapa penjual makanan menjajakan barang jualannya, hanya membawakan daftar menu.
Orang-orang yang menawarkan makanan tersebut, merupakan pekerja di pujasera yang berada di Taman Bungkul Surabaya. Setelah konsumen memesan, mereka akan membawa makanan pesanan tersebut ke tempat konsumen berada, di dalam area-area di taman.
Sebab, kantin-kantin di Taman Bungkul diletakkan di satu area khusus, yang berada di sisi timur taman.
Saya memang tidak bisa memastikan kebenaran sistem jualan tersebut, berlaku setiap saat atau tidak di Taman Bungkul. Sebab, saya tak sempat melakukan konfirmasi lebih lanjut ke pihak terkait.
Tetapi saya kira, sistem tersebut cukup baik untuk menjaga kerapian dan kebersihan taman.
Lokasi Taman Bungkul Surabaya
Taman Bungkul Surabaya sebenarnya dikelilingi empat jalan. Meski begitu, sisi muka Taman Bungkul berada di Jalan Raya Darmo, yang berada di sebelah barat.
Searah jarum jam, Taman Bungkul bersebelahan dengan Jalan Taman Bungkul di utara, Jalan Serayu (timur), dan Jalan Progo (selatan).
Tak jauh dari Taman Bungkul, sebuah penginapan berdiri. Tentu, hal itu bisa menjadi alternatif bagi para pelancong dari luar Kota Surabaya.
Berdasarkan Google Maps, penginapan tersebut bernama Grand Darmo Suite. Hotel bintang empat tersebut masih terletak di Jalan Progo.
Dari Taman Bungkul, Grand Darmo Suite berada di sebelah timur, atau sisi belakang taman.
Meskipun tak sedekat Grand Darmo Suite, ada beberapa penginapan lain yang berlokasi tak jauh dari Taman Bungkul. Setidaknya, hal tersebut mudah dilihat melalui Google Maps.
Sejarah Taman Bungkul Surabaya
Merujuk Nationalgeographic.co.id, sebelum menjadi tempat wisata, kawasan Taman Bungkul dikenal sebagai kompleks pemakaman yang cukup angker.
Di lokasi tersebut, Sunan Bungkul dimakamkan. Ketika belum direnovasi menjadi taman, orang-orang mendatangi pemakaman tersebut untuk berziarah.
Pemerintah Kota Surabaya kemudian mengubah kawasan pemakaman tersebut menjadi lokasi wisata taman.
Meski begitu, pemerintah tidak memindahkan makam Sunan Bungkul. Nama Bungkul juga tetap dipertahankan sebagai nama kawasan yang diperbarui tersebut.
Merujuk Suarasurabaya.net, biaya renovasi Taman Bungkul mencapai Rp 1,2 miliar. Sementara mengutip Wikipedia, Taman Bungkul Surabaya kemudian diresmikan pada 21 Maret 2007.
Pada 2013, Taman Bungkul Surabaya meraih Penghargaan The 2013 Asian Townscape Award. Penghargaan tersebut diberikan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai taman terbaik di Asia.
Riwayat Singkat Sunan Bungkul
Riwayat singkat Sunan Bungkul saya kutip dari artikel ilmiah karya Mariyatul Badi’ah berjudul Taman Bungkul Tahun 2007-2015. Artikel tersebut telah dimuat di Jurnal Avatara Volume 4 Nomor 2 Juli 2016. Avatara merupakan e-Journal Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya.
Sunan Bungkul mempunyai nama lain Empu Supo. Empu Supo adalah putra Tumenggung Supodriyo, seorang pembesar di Kerajaan Majapahit.
Nama Supo diperoleh karena ia mempunyai kemampuan membuat wesi aji, seperti keris, tombak, cakra, dan peralatan dalam melebur keris-keris tersebut.
Diceritakan, Empu Supo mempunyai kesaktian. Ia mampu membuat keris hanya dengan mengelus dan memijat besi-besi tersebut.
Dalam keterangan sejarah, Empu Supo mempunyai sifat arogan dan suka mengembara jauh. Ia mengembara serta memamerkan kesaktiannya di depan umum.
Suatu hari dalam pengembaraannya, ia bertemu Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai dalang. Sunan Kalijaga memperkenalkan diri dengan nama Ki Dalang Kumendung.
Empu Supo sesumbar mengenai kehebatannya membuat keris. Akhirnya, Ki Dalang Kumendung meminta dibuatkan sebilah keris.
Empu Supo lalu mulai memijat-mijat besi untuk membuat keris seperti biasanya. Namun anehnya, kali itu, ia tidak berhasil membuat keris.
Ketidakmampuannya membuat keris tersebut memberi kesadaran kepada Empu Supo. Bahwa, ia telah berhadapan dengan orang yang tidak sembarangan.
Seiring perjalanan waktu berikutnya, Empu Supo telah menjadi murid Sunan Kalijaga. Ia memeluk agama Islam. Empu Supo menjadi seorang murid yang saleh.
Melihat keseriusan Empu Supo mempelajari agama Islam, Sunan Kalijaga menjodohkan Empu Supo dengan adiknya, Dewi Rosowulan dan menetap di Tuban.
Empu Supo mempunyai hubungan erat dengan Sunan Ampel. Dibantu Empu Supo, Sunan Ampel berhasil menyebarkan agama Islam di Kota Surabaya. Empu Supo alias Sunan Bungkul dikenal sebagai tokoh agama di Kota Surabaya.
Taman Bungkul Surabaya dan Sejarah Empu Supo seharusnya menjadi sesuatu yang tak terpisahkan. Setidaknya, orang bisa mudah mengetahui asal usul penamaan Taman Bungkul.
from DETIK INDONESIA NEWS http://ift.tt/2v4hHTF
via IFTTT
0 comments:
Post a Comment